Ishak Salim
Pendiri Yayasan PerDIK
Senin, 26 Desember 2022 15:50

Empat Pelajaran Dari Film TEGAR

Foto bersama Komunitas Difabel usai nonton Film TEGAR. Jejakfakta/DokPerDIK
Foto bersama Komunitas Difabel usai nonton Film TEGAR. Jejakfakta/DokPerDIK

Menurutku, film Tegar ini keren. Ada empat hal yang membuatnya keren, yakni menjelaskan bagaimana difabel di rumahnya dengan segala aspek pemikiran maupun desain dalam rumah; bagaimana difabel melakukan kegiatan sehari-hari secara natural, dan optimisme bahwa dunia di luar rumah tidak seperti yang dibayangkan orang-orang yang selama ini membatasi ruang gerak difabel. Terakhir, film ini menjadi keren karena dalam menceritakan kehidupan difabel, aktor maupun sejumlah pendukungnya adalah difabel dan memasukkan perspektif disabilitas yang benar sehingga representasi difabel cukup mempengaruhi watak film ini dan kita mendapatkan perspektif yang benar tentang yang dilakonkan.

Pertama, Tegar dalam keluarga.

Banyak teman saya yang mengalami disabilitas, hidup dengan dukungan penuh dalam keluarga. Peran ibu atau ayah sangat penting dalam membangun kepercayaan diri anak, kemampuan dasar dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan mendukung tumbuh kembangnya secara setara. Dalam keluarga Tegar, peran kakek yang menerima diri Tegar sebagai cucu dengan disabilitas membuat Tegar memiliki keyakinan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Sebaliknya, ibunya mengalami shock ketika ayah Tegar meninggalkannya hanya karena Tegar memiliki kondisi tubuh yang berbeda. Akhirnya ia merasa bahwa memang Tegar memiliki kelemahan dan dengan itu sebaiknya diproteksi, disembunyikan, diabaikan dan akhirnya terlanggar haknya, yakni pendidikan dan kebebasan.

Ada sejumlah scene di mana ibunya mengabaikan Tegar di rumah dan meninggalkannya selama berhari-hari untuk bekerja. Ia memiliki sejumlah pekerja rumah tangga dan hanya satu yang mengurusi Tegar, yakni bibi Izy. Ia seharusnya adalah seorang ‘personal assistance’ dari Tegar. Dalam perspektif disabilitas, ada orang yang memang bekerja sebagai ‘caregiver’ dan membantu difabel untuk urusan-urusan yang sangat pribadi. Tapi dalam film ini, bibi Izy adalah sebagai pekerja rumah tangga. Perannya yang dominan membuat Tegar telat mengetahui bagaimana menggunakan dirinya untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhannya, seperti bagaimana membuka celana dan mengganti baju. Seorang caregiver sebaiknya memiliki kemampuan dasar ketika ia merawat anak dengan disabilitas.

Ada perdebatan sengit antara Kakek dan ibu Tegar. Saat Tegar sudah berusia 10 tahun dan Ia merasa mampu untuk turut bersekolah tapi tidak dipedulikan oleh ibu Tegar. Kehilangan waktu 3 – 4 tahun baginya sudah cukup membuatnya tertinggal. Tegar menyampaikan ke kakeknya kalau ia ingin sekolah dan itu akan jadi kado ulang tahunnya. Kakek menyetujuinya, namun di saat hari pertama bersekolah tiba, kado pakaian sekolah itu tidak jadi dipakainya dan Tegar tidak berangkat sekolah. Pagi itu, kakeknya meninggal dunia.

Bagaimana nasib Tegar saat kehilangan pendukung utamanya di rumah?

Pengabaian terhadap Tegar berlanjut. Ini menjadi masa-masa sulit dari seorang Tegar. Bagaimanapun, Ia masih kanak-kanak. Ia membutuhkan banyak dukungan untuk bisa mandiri. Ketika ibu lebih banyak mengabaikan, tekanan mental akan semakin berat. Dalam banyak kisah, difabel yang melewati masa-masa sulit tidak jarang mengambil langkah singkat untuk mengakhiri tekanan, yakni dengan bunuh diri. Tegar tidak melakukannya. Ia punya cara lain menghadapi tekanan itu.

Kedua, Tegar dan urusan sehari-harinya.

Menonton Tegar membuat saya mengingat sejumlah hal penting di sepanjang interaksi saya dengan banyak kawan difabel. Dalam sejumlah scene, Tegar menunjukkan bagaimana ia secara alamiah melakukan pekerjaan sehari-hari di rumahnya. Itu mengingatkan saya ketika pertama kali berkenalan dengan kawan saya yang netra, Mas Joni saat masih indekos di Jakarta (2005) dan terus berlanjut hingga saat Ia berkeluarga, memiliki 4 anak dan punya rumah sendiri. Saya mengetahui bagaimana Joni membaca, menulis atau belajar dengan buku-buku braille yang ia miliki. Di rumahnya saya pernah mengamati Joni mencuci pakaian dengan mesin cuci yang terletak di lantai dua rumahnya. Ia lalu menjemurnya di lokasi jemuran di mana ada tali jemuran yang rendah dan ada pula yang tinggi. Ia menarik kursi yang sudah ada dan menggunakannya untuk menjemur di tali yang lebih tinggi.

Tegar dengan tubuh kecilnya tanpa tangan dan hanya satu kaki melakukan hal-hal yang bagi orang tanpa disabilitas akan sulit. Tegar melakukan sejumlah upaya trial and error, sesuatu yang sebenarnya alamiah dan terjadi pada siapapun. Dalam proses itu, Tegar lalu melakukan segalanya dengan cara berbeda.

Jika kita cermati, sebenarnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi Tegar itu dikarenakan Ia sedang berada di ruang atau tempat yang desainnya itu diperuntukkan bagi orang-orang tanpa disabilitas. Desain dapur misalnya, dengan kompor yang berada di atas meja dengan tinggi sekitar 120 cm membuat Tegar harus meraih kursi untuk menjangkaunya. Pun demikian dengan desain kompor gas yang untuk menyalakannya dibutuhkan jemari untuk memegang knop lalu memutarnya. Bagi Tegar yang tak memiliki lengan dan dapat mengandalkan jari-jari dari satu kakinya tentu akan kesulitan. Setidaknya ia akan beradaptasi dan membut kakinya jadi mampu melakukannya. Pun demikian dengan desain pintu kulkas. Seluruhnya, desain itu menggunakan tubuh non disabilitas yang akhirnya menyulitkan orang dengan disabilitas.

Saya pernah ke rumah kawan di Bandung, sepasang suami istri difabel. Namanya Uda Al dan Teh Cucu. Mereka memiliki rumah sendiri dengan desain yang akses bagi mereka yang keduanya menggunakan kursi roda sebagai pendukung mobilitasnya. Saat menjamu saya makan, saya menyaksikan bagaimana Teh Cucu menggunakan peralatan memasak, menata kebutuhan dapur dengan rak terjangkau oleh tubuhnya yang kecil. Tinggi meja kompor rendah sesuai kebutuhannya dan tidak perlu menggunakan alat bantu. Dengan menggunakan tubuh keduanya dalam merancang rumah membuat mereka bisa semandiri mungkin melakukan kebutuhan sehari-harinya. Bagaimana jika dapur itu digunakan oleh orang yang tanpa disabilitas? Tentu saja bisa, karena desain demikian disebut universal design.

Ketiga, Tegar dan Optimisme pada Lingkungan yang Memungkinkan Difabel Mampu

Saat Tegar akhirnya memilih untuk meninggalkan rumahnya, Ia menunjukkan bahwa apa yang ia pelajari dari kakeknya selama ia masih hidup berguna. Ia bisa berenang dan memiliki keyakinan yang membuatnya mampu mengatasi ketakutan-ketakutannya. Apa yang sering diucapkan oleh Wida, ibunya, bahwa di luar sana banyak orang jahat, yang dapat mengejek dan merundungnya jelas membangun kekhawatiran bahkan rasa takut pada diri Tegar. Tapi kakeknya sudah menancapkan optimisme pada diri Tegar sehingga ia tak takut jika harus keluar dari rumah.

Apakah memang sebaiknya setiap difabel keluar atau meninggalkan rumahnya? Menurut saya iya. Jika lebih banyak difabel tinggal di rumahnya dan menjadi apa yang disebut hidden disability—terutama karena dipaksa orang-orang di rumah untuk tidak perlu keluar dengan alasan apapun, maka Ia akan semakin tertinggal dan kehilangan satu persatu hak-haknya. Apa misalnya? Tentu belajar, bekerja, berusaha, berekreasi, berteman dan berkelompok, berpasangan dan berumah tangga, berorganisasi, berprestasi, bersosialisasi, berpolitik, berolahraga, dan seterusnya.

Ketakutan orang rumah jika difabel keluar akan mengalami perlakuan bullying hanyalah upaya untuk menutupi muka mereka sendiri. Menyelamatkan diri dari rasa malu yang tidak sepatutnya dirasakan. Sebenarnya, cara pandang orang rumahlah yang perlu dibenahi ketika menganggap menjadi disabilitas adalah sebuah kelemahan, kesakitan, dan aib keluarga. Cara pandang inilah, dengan rasa kuasa merasa diri bertubuh lengkap dan normal yang kemudian orang-orang ini menekan atau menguasai anggota keluarga dengan disabilitas. Berhentilah wahai orang-orang di rumah membatasi ruang gerak difabel. Dukunglah terus difabel, berikan ruang mereka mengeksplorasi tubuh disabilitasnya, siapkan aksesibilitas, berikan akomodasi layak, serta temani dalam mengenali ruang sosial mereka. Kenalkan mereka ke kerabat maupun teman-teman kalian lalu nikmatilah perubahan-perubahan yang berangkat dari cara pandang baru kalian sebagai orang-orang yang menjunjung inklusi disabilitas.

Jika demikian, maka kita dapat menjadi bagian yang meruntuhkan segala labelisasi difabel yang berkonotasi miring, seperti cacat dan tidak mampu, tuna dan objek bantuan, orang spesial dan objek pengasihan, orang dengan segala kesulitan dan pengampuan, abnormal dan objek inspirasi (inspiration porn) dan seterusnya. Jika kita bisa mengatasi labelisasi kecacatan dan stereotifikasi atasnya, maka pelan-pelan kita—secara bersama-sama akan menghentikan praktik segregasi terutama segregasi dalam pendidikan. Seperti Tegar yang memilih masuk (dimasukkan) ke sekolah umum ketimbang sekolah luar biasa (SLB), kita pun harus yakin bahwa inklusi dalam pendidikan harus mulai diterapkan. Sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah-sekolah umum harus beranjak menjadi sekolah yang menerapkan sistem pendidikan inklusif.

Keberanian difabel untuk keluar rumah—jika selama ini dikurung atau didisiplinkan sehingga meyakini bahwa menjadi difabel memang takdirnya mendekam di rumah sepanjang hayat mesti dibarengi dengan keyakinan bahwa di luar sana, banyak orang-orang baik yang bisa mendukung kita. Siapapun dan selemah apapun kita, dan apapun alasan atas pelemahan itu—bisa jadi tidak melulu karena disabilitas, boleh jadi karena minoritas ras, orientasi seksual atau beda agama. Orang-orang baik ada di mana-mana. Tak perlu khawatir berlebihan. Seperti Tegar yang akhirnya ditemukan oleh Mang Acong dan tinggal bersama Kang Asep—difabel yang baik hati dan berempati—yang membuat ia terhindar dari tidur di jalanan. Pun saat Tegar di sekolah, di mana ada teman-temannya yang masih ragu dan meremehkan Tegar namun ada juga teman-temannya yang siap mendukung dan membelanya jika ada perundungan atau bullying.

Keempat, Film yang Melibatkan Perspektif Disabilitas dan Difabel

Film Tegar menurut saya bagus karena dua hal. Pertama peran difabel dimainkan oleh aktor difabel. Menurut saya ini hal ideal. Butuh waktu 1,5 tahun untuk M. Aldifi Tegarajasa mempelajari ‘bermain peran’ untuk akhirnya sukses memerankan diri sebagai Satria Tegar Kayana. Bandingkan film ‘Miracle in the cell number 7’ di mana difabel tidak diperankan oleh aktor difabel.

Kedua, Sutradara Anggi Frisca melalui Aksa Bumi Langit juga berhasil memasukkan perspektif disabilitas dalam film ini karena dalam naskahnya (yang ditulis oleh Anggi dan Alim Sudio) dan proses pembuatan filmnya melibatkan difabel, di antaranya Bang Ahmad Zoel (Fotografer, almarhum), Ramandhika Haikal (Fotografer behind the scene), Bu Yuktiasih Proborini (konsultan pengembangan naskah), Kang Anton alias Prihartono Mirsaputra (berperan sebagai Akbar, penyanyi cafe), Kang Asep (berperan sebagai Mang Acong juru parkir), dan juga dibantu oleh anak-anak difabel yang tergabung dalam Inclusive Kids Choir (mengisi soundtrack film Tegar).

Menonton Tegar Bersama Komunitas Makassar

Saya dan teman-teman aktivis difabel beruntung diundang bisa menonton film ini secara gratis oleh BPJS—yang hari itu mengenalkan pentingnya asuransi ketenagakerjaan. BPJS juga mengundang kelompok lain seperti para pengendara gojek online, ibu-ibu UMKM, dan beberapa lagi lainnya. Pada kelompok difabel ada difabel Tuli dan ada Netra yang tentu saja akan menonton dengan cara berbeda.

Komunitas Tuli, jika menonton film akan sangat mengandalkan subtitle (teks percakapan) dan close-caption (teks non-percakapan, seperti suara-suara di luar percakapan). Sementara itu, penonton netra membutuhkan audio describer untuk menyuarakan visual yang penting dalam setiap scene. Fungsi audio describer bisa diisi oleh seorang pembisik, yang menemani penonton netra. Hal ini penting karena karya audio-visual jika dinikmati oleh orang yang tidak memiliki pendengaran maupun penglihatan akan tidak akses, kecuali diberikan tambahan untuk menyesuaikan kemampuan penontonnya.

Pengalaman saat kami menonton, setiap penonton netra sudah disiapkan pembisiknya dan bagi difabel Tuli, telah ada dua juru bahasa isyarat yang standby sewaktu-waktu membantu menerjemahkan hal penting.

Menurut Zizi, seorang penonton netra, ia mengatakan bahwa itu pengalaman pertama menonton dengan seorang pembisik. Ia merasa menonton lebih menyenangkan. Ia bisa tahu dengan detail apa yang muncul di layar. Ia memberi contoh, saat Tegar melukis kakeknya yang dalam film tiada narasinya, tiada dialognya. Dengan adanya pembisik, maka apa yang Tegar sedang lakukan—yakni melukis—dan apa yang ia lukiskan dapat diketahui oleh Zizi. Bagi yang bisa melihat tentu tahu itu melukis dan lukisan itu adalah kakeknya yang tersenyum lebar. Bahkan, pembisik menjelaskan bagaimana Tegar menggunakan kuas dengan jari kakinya.

Contoh lain saat pembisik membisikkan bagaimana Tegar meraih buah naga, meraih pisau, lalu membelah buah naga dan memakannya tanpa bantuan kedua lengan yang memang tak ada. Saat itu tegar memegang pisau memakai kaki kirinya, sedangkan kaki kanannya dipakai untuk memegang buah naga.

Salah satu film berjudul ‘sejauh kumelangkah’ yang dibuat oleh Ucu Agustin mengenalkan teknik voice over dalam film dokumenternya. Film yang mengenalkan persahabatan dua gadis netra. Jika kita sebagai penonton yang dapat melihat namun saat menonton tidak sedang melihat layar, misalnya sedang berkendara, maka voice over atau audio describer itu memungkinkan kita menangkap detail dalam layar, walau tanpa melihat layar karena ada penjelasan audio, yang dapat didengarkan. Ke depan, semoga film-film kita semakin akses dan perspektif disabilitasnya bisa lebih kuat digunakan agar representasi disabilitas tidak lagi terjebak pada eksploitasi derita, rasa kasihan, ketidakmampuan, dan hal-hal yang stigmatik lainnya.

Selamat ya untuk semua yang telah melahirkan karya Tegar dalam film. Saya yakin, orang akan belajar dari film itu bahwa kedisabilitasan tidak selalu berkaitan dengan ketidakmampuan diri difabel, melainkan justru penidakmampuan itu banyak disebabkan oleh aspek di luar diri difabel, seperti desain sosial dan perspektif orang kebanyakan bahwa disabilitas itu orang sakit, aib, tidak mampu sehingga harus diampu, dst. Well done!

Editor: Zakia

Sumber: https://ekspedisidifabel.wordpress.com/

Kolom Terbaru

Hanya Pembaruan Janji Lama!

Kamis, 12 Januari 2023 00:29

Empat Pelajaran Dari Film TEGAR

Senin, 26 Desember 2022 15:50