Selasa, 01 Oktober 2024 13:45

Aktivis Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi Minta Presiden Jokowi Hapus Ketentuan Pasal 3 ayat 4b Perpres 112/2022

Editor : Redaksi
Penulis : Samsir
Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi’, dari organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta, menggelar aksi setelah menyerahkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4b dalam Perpres 112 Tahun 2022 ke Menteri ESDM dan Menteri Sekretaris Negara RI, di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (1/10/2024). @Jejakfakta/dok. Walhi Sulsel
Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi’, dari organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta, menggelar aksi setelah menyerahkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4b dalam Perpres 112 Tahun 2022 ke Menteri ESDM dan Menteri Sekretaris Negara RI, di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (1/10/2024). @Jejakfakta/dok. Walhi Sulsel

Perpres 112 Tahun 2022 mengatur mengenai pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan.

Jejakfakta.com, JAKARTA -- Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi’, yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta, menyerahkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4b dalam Perpres 112 Tahun 2022 ke Menteri ESDM dan Menteri Sekretaris Negara RI, di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (1/10/2024).

Surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4 dalam Perpres 112 tahun 2022 bertujuan agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian ESDM merevisi atau menghapus pasal mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri pengolahan mineral dalam perpres tentang percepatan pembangunan energi baru terbarukan.

Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Muhammad Al Amin, menjelaskan bahwa langkah pemerintah saat ini masih sangat jauh untuk mencapai target penurunan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

Baca Juga : Walhi se Sulawesi Minta Presiden Prabowo Moratorium Izin Tambang, Berikut Tujuh Rekomendasinya

Menurutnya, peraturan presiden ini masih memberi ruang yang sangat lebar bagi swasta untuk membangun PLTU baru untuk kepentingan industri. kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dan tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia.

“Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 memberikan celah yang signifikan dan membuka ruang yang sangat lebar untuk pembangunan PLTU captive baru. Proporsi PLTU captive dari seluruh kapasitas PLTU batubara di Indonesia telah mencapai hampir 30%,” ungkap Amin usai menyerahkan surat permohonan tersebut, dalam keterangan persnya.

Menurutnya Al Amin, pembangunan PLTU Industri yang masif dalam hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik adalah salah satu faktor penghalang terwujudnya transisi menuju energi terbarukan.

Baca Juga : Jelang Pelantikan Prabowo-Gibran, Perempuan Pesisir Nusantara Desak Cabut PP 26 Tahun 2023

Selain itu, Direktur WALHI Sulawesi Selatan (Sulsel) ini menjelaskan masalah lain dari pengoperasian pabrik smelter dan PLTU Industri di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara telah meningkatkan polusi yang menyebabkan dampak kesehatan yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, dan anak-anak.

“Tanpa intervensi serius, emisi CO2 dari PLTU captive diperkirakan akan mencapai 80 Mt per tahun dan terakumulasi hingga 2 Gt antara tahun 2025 hingga 2050. Situasi ini sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar dan akan memperburuk krisis iklim yang terus menelan korban” jelasnya.

Sulawesi Tanpa Polusi Kaji Perpres 112 tahun 2022

Baca Juga : Aktivis Walhi Sulsel Serukan ‘Matikan PLTU Industri’ di Car Free Day Boulevard

Al Amin menekankan bahwa Perpres 112/2022 menunjukan bahwa Presiden Jokowi tidak serius untuk menghentikan pembangunan PLTU sebagai sumber energi di Indonesia, sebagaimana pidato-pidatonya di forum-forum internasional.

"Poin pengecualian pada Pasal 3 ayat 4 huruf b menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap PLTU yang semakin memperburuk lingkungan di Indonesia," tegasnya.

Sementara dampak lingkungan dari aktivitas PLTU juga sangat besar dan signifikan. PLTU captive di Sulawesi Tengah, di kawasan industri milik PT IMIP dan PT GNI telah menyebabkan perubahan bentang alam dan hilangnya biodiversitas endemik Sulawesi.Bahkan dampaknya sampai mengancam sumber pangan lokal di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.

Baca Juga : Ekspor Nikel Indonesia Naik Jadi Rp250 Triliun, Presiden Jokowi: Hilirisasi Menjadi Kunci

“Limbah air panas dari PLTU dan aktivitas kapal kapal pengangkut batubara telah menghancurkan ekosistem laut dan berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Selain itu, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat sekitar, khususnya nelayan dan perempuan pesisir.” jelas Sunardi dari WALHI Sulawesi Tengah.

Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia mengatakan Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112 Tahun 2022 adalah langkah mundur dalam komitmen transisi energi bersih Indonesia. Alih-alih mempercepat peralihan dari energi fosil, justru membuka ruang lebih besar untuk investasi pada energi kotor yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.

“Greenpeace mendesak Kementerian ESDM untuk tetap konsisten dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan mengutamakan kepentingan lingkungan serta kesehatan publik, bukan kepentingan industri energi fosil,” tegasnya.

Baca Juga : Perempuan Pesisir Tolak Kebijakan Tambang dan Ekspor Pasir Laut di Indonesia

Hal yang sama ditegaskan oleh Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien. Ia menambahkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) 112, yang seharusnya menjadi langkah maju dalam mempercepat transisi energi dan mendorong penghentian PLTU batubara secara dini, justru menyisakan celah yang mengkhawatirkan.

Pasal 3 Ayat 4b dalam Perpres ini membuka peluang untuk pembangunan PLTU captive baru, yang banyak tersebar di Sulawesi dan Maluku—wilayah yang bukan penghasil batubara. Ini tidak hanya memperpanjang ketergantungan kita pada energi fosil, tetapi juga meningkatkan emisi polusi melalui proses transportasi batubara ke daerah-daerah tersebut.

“Kami mendesak pemerintah untuk segera merevisi pasal tersebut dan lebih serius mempertimbangkan kebijakan yang mendukung penggunaan energi terbarukan yang sudah tersedia di wilayah tersebut. Pengembangan energi terbarukan di daerah ini tidak hanya akan mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong kemandirian energi lokal yang berkelanjutan," minta Andi.

Kemudian, Direktur Celios, Bhima Yudhistira menjelaskan, upaya pemerintah dalam memberikan izin konstruksi PLTU baru di kawasan industri dalam Perpres 112/2022 bertentangan dengan mengejar industrialisasi yang lebih berkualitas.

“Jika presiden tidak segera mencabut Pasal 3 ayat 4 huruf b pada Perpres 112/2022 maka dikhawatirkan produk industri yang dihasilkan dari kawasan hilirisasi akan bernilai rendah dan sulit masuk dalam rantai pasok di negara maju. Masyarakat yang menanggung dampak dari pencemaran udara PLTU juga menurunkan produktivitas kerja, serta mengancam perekonomian lokal jangka panjang," terang Bhima.

Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi juga berharap Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, bersedia menghapus ketentuan mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri yang tertulis di Pasal 3 ayat 4 huruf b, Perpres 112 tahun 2022.

Untuk diketahui bahwa saat ini, dominasi PLTU captive untuk pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah mencapai 77% dari total kapasitas PLTU captive di Indonesia, dengan 88 unit PLTU captive di Sulawesi dan Maluku yang memiliki total kapasitas 17,6 GW. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Koalisi ‘Sulawesi Tanpa Polusi' #Joko Widodo #Walhi Sulawesi Selatan #PLTU Captive #Perpres 112 #emisi karbon #hilirisasi nikel
Youtube Jejakfakta.com