Jejakfakta.com, MAKASSAR -- Bulan Mei tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan membuka keran ekspor pasir laut setelah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Setahun berikutnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan lantas menerbitkan aturan turunannya, yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.
Kedua Permendag ini menjadi penanda resmi dibukanya keran ekspor pasir laut. Jokowi sendiri mengizinkan ekspor pasir laut dengan dalih pembersihan atau pengendalian sedimentasi. Izin ekspor pasir laut hasil kerukan itu secara khusus diatur dalam Pasal 9.
Merespon hal tersebut, beberapa perempuan dari berbagai daerah di Indonesia yang tergabung dalam Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara turut menyampaikan tanggapan dan desakannya kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang sebentar lagi akan dilantik.
Baca Juga : Walhi se Sulawesi Minta Presiden Prabowo Moratorium Izin Tambang, Berikut Tujuh Rekomendasinya
Aklima, Perempuan dari Pesisir Bengkulu, mengatakan aturan ekspor pasir laut ini sebagai aturan yang tidak berpihak pada lingkungan dan rakyat, utamanya perempuan. Baginya, aturan ini jelas akan merusak ekosistem dan mengundang bencana dikemudian hari.
"Intinya, kami dari pesisir Bengkulu menolak keras adanya aturan ini. Karena jelas laut kita akan rusak dan merugikan para nelayan serta perempuan yang hidup dari kelestarian laut," ujarnya.
Selain Aklima, Salah seorang perempuan dari Pesisir Galesong Takalar, Herlina juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya ekspor pasir laut dengan cara melakukan penambangan pasir laut sama saja membuat kehidupan anak dan cucu kami menderita.
Baca Juga : Jelang Pelantikan, Jusuf Kalla Pesan Tiga Hal ke Prabowo-Gibran
"Setelah penambangan pasir laut, Galesong terjadi abrasi yang luar biasa dampaknya, karena sampai ada kuburan yang terbongkar dan tulang berulangnya itu berserakan. Sekarang, nelayan juga sudah sulit mendapatkan ikan dan harus jauh pergi melaut," ungkap Herlina.
Tidak hanya itu, Sita perwakilan Pulau Kodingareng mengungkap bahwa sampai hari ini kami dari masyarakat pulau masih merasakan dampak dari adanya aktvitias penambangan pasir laut untuk pembangunan pelabuhan Makassar New Port. Bahkan, sekarang banyak dari warga pulau yang migrasi dan mencari pekerjaan lain di luar pulau.
"Sudah banyak yang meninggalkan pulau. Copong (wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng) juga sudah tidak ada ikan. Padahal, disana dulu ikannya melimpah. Setelah ditambang bukan cuman ikan yang tidak ada, tapi pulau kami juga terancam abrasi," ujarnya.
Baca Juga : Presenter Kompas TV Ni Luh Puspa Ikuti Pembekalan Calon Wamen di Hambalang
Asmania, dari Pulau Pari juga turut berkomentar terkait dengan aturan baru yang dibuat oleh pemerintah. Bagi Asmania, dengan adanya kebijakan ini seakan pemerintah tidak memikirkan dampak kedepan dan hanya berpihak pada pengusaha saja.
"Kami masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akan bertambah sengsara karena adanya aturan ekspor pasir laut. Ditambah lagi dengan dampak perubahan iklim. Makanya, kami mendesak kepada pemerintah untuk mencabut PP 26 Tahun 2023," tegasnya.
Sementara Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan, Slamet Riadi juga memaparkan berbagai temuan hasil riset dampak tambang pasir laut bagi kehidupan nelayan dan perempuan yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil Sulawesi Selatan.
Baca Juga : Aktivis Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi Minta Presiden Jokowi Hapus Ketentuan Pasal 3 ayat 4b Perpres 112/2022
Menurutnya, penambangan pasir laut telah merugikan keluarga nelayan secara ekonomi dan merusak ekosistem laut. Bahkan, nilai kerugian yang dialami oleh keluarga nelayan akibat penambangan pasir laut dan reklamasi jumlahnya sangat fantastis.
Selama 257 hari Kapal milik PT Royal Boskalis melakukan aktivitas penambangan pasir laut dan reklamasi Makassar New Port total kerugian yang dialami oleh nelayan berkisar 54,9 Miliar dari aktivitas reklamasi dan 80,4 Miliar untuk penambangan pasir laut.
Bahkan, Tiga tahun pasca penambangan, kami kembali melakukan monitoring bawah laut di lokasi bekas penambangan dan hasilnya tim penyelam menyaksikan langsung kerusakan bawah laut serta terumbu karang yang memutih (bleaching).
Baca Juga : Perempuan Pesisir Tolak Kebijakan Tambang dan Ekspor Pasir Laut di Indonesia
"Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa banyak keluarga nelayan di Pulau Kodingareng terpaksa memilih untuk meninggalkan pulau dan mencari pekerjaan lain di luar," tutupnya.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News