Sabtu, 29 Oktober 2022 09:47

Ujung Jemari

Ilustrasi santri Sumpah Pemuda 1928 [dok.ist]
Ilustrasi santri Sumpah Pemuda 1928 [dok.ist]

“Harusnya kita sudah merdeka, nyatanya masih terjajah. Tugas kita makin berat karena melawan sebangsa sendiri!” Hanya ada suara yang lantang menggema dari pelantang. Para pendengar hanya bisu, antara takjub atau terkejut. Entahlah!

   Telah tiba masa, antara benar dan salah bedanya tipis. Setipis kulit bawang. Kita butuh nalar memadai untuk melihat pembeda di antara keduanya. Saat ini, dunia berada di ujung jemari. Kebenaran menjadi sulit ditegakkan, seperti menegakkan benang basah.

   Salim baru saja menghadiri pengajian. Motor bututnya berjalan menyusuri malam yang dingin. Gerimis baru saja turun. Kesunyian merambat di mana-mana. Baru sekira belasan menit dia berkendara. Di antara aroma pekat berlatar deru suara motornya, terdengar riuh bising di kejauhan. Salim terkejut. Jalan raya yang sebelumnya sepi mendadak ramai. Ada puluhan orang di sana. Berkerumun, memerhatikan objek aneh di pinggir jalan. Sebuah ambulans dan mobil polisi di lokasi. Salim menepi, memarkir motor seadanya. Turut nimbrung di keramaian.

“Ada yang meninggal Sepertinya orang kampung sebelah!” Seseorang berucap. Menjawab ingin tahu di wajah Salim. Rasa penasaran Salim meruncing. Sosok itu, seperti dia kenali.

Baca Juga : Presiden Jokowi Ungkap: Biasanya Kasus Bullying Ditutup-tutupi untuk Lindungi Nama Baik Sekolah

“Sepertinya korban pembunuhan!” Ucap yang lain. Saat sosok itu dievakuasi petugas berwenang, Salim sekilas melihat wajahnya.
Jelas. Salim sangat terkejut. Ada yang bertalu di balik dadanya. Jantungnya berdegup kencang.

                                                                  ***

“Yang benar adalah benar. Yang salah adalah salah. Katakan hitam bila hitam, katakan putih bila putih!”

Baca Juga : MUI Minta Guru Sekolah Serius Wujudkan Program Anti-Bullying

Raihan berapi-api. Lelaki itu sepertinya telah tersulut amarah sejak lama. Apa yang diucapkannya, bagian dari akumulasi kebencian yang telah tertanam di dadanya.

Kebencian?

“Saya tidak pernah membenci siapa pun. Saya hanya mengatakan yang seharusnya diucapkan. Saya hanya menjadi penyambung lidah mereka yang kelu atau dipaksa bungkam!”

Baca Juga : Ketua MUI Ajak Legawa Atas Hasil Pemilu 2024, Prabowo-Gibran Masih Pimpin Real Count KPU

Raihan melanjutkan. Sorot matanya tajam. Tak ada ketakutan di sana. “Kezaliman harus dihapuskan. Pemimpin yang zalim harus diturunkan, jika tidak rakyat akan selamanya melarat. Dipaksa bayar pajak tapi terus-terus dikorbankan oleh kebijakan yang tak pernah memihak!”

Oh. Dari mana kata-kata sakti itu meluncur. Raihan jelas bukan lagi bocah kemarin sore. Ada loncatan luar biasa yang terjadi pada dirinya. Pemberontakannya serupa akumulasi sikap lugunya yang bertahun-tahun terpendam.

“Harusnya kita sudah merdeka, nyatanya masih terjajah. Tugas kita makin berat karena melawan sebangsa sendiri!”

Baca Juga : Nah! Ini Solusi MUI Agar Mahasiswa Bayar UKT Tanpa Pinjol

Hanya ada suara yang lantang menggema dari pelantang. Para pendengar hanya bisu, antara takjub atau terkejut. Entahlah!

“Bangsa ini tegak merdeka karena darah para syuhada. Tak terbilang jumlah nyawa kiyai dan santri yang meregang. Setelah merdeka, kita masih begini-begini saja…! Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka tak mengubah diri mereka sendiri…”

Sudah jelas. Kalimat-kalimat yang disampaikan Raihan di mimbar ceramahnya kontra pemerintah. Beberapa jemaah terlihat gerah. Satu dua orang sudah berdiri, berjalan mundur, lalu hilang di balik pintu masjid. Jemaah lain memilih bertahan, mungkin
menghargai pembicara. Sisanya, memang senang dengan pembawaan Raihan. Seperti menemukan muara atas kepailitan yang mereka alami. Raihan hadir menjadi peluruh atas luka-luka kehidupan yang mendera.

Baca Juga : 2 Keberhasilan Dai 3T

“Takbir!

“Allahu Akbar!”

Masjid makin riuh. Sekejap saja. Ingar-bingar seperti meletup di udara. Raihan
melihat itu merasa terkesima. Dia melanjutkan.

                                                              ***

“Re…Dakwah itu harusnya lemah lembut. Sampaikan dengan hati, agar yang menerimanya juga dengan hati!”

“Lim. Saat ini suara kekufuran lebih nyaring dari kebenaran. Jika lemah lembut, hampir dipastikan tak akan terdengar!”

“Katakan kebenaran walaupun pahit. Itu kuncinya!”

“Iya…! Tapi tidak harus memprovokasi kan?” Salim menyela.

“Saya tidak memprovokasi. Yang saya sampaikan semuanya kenyataan kok.

Buktinya, orang-orang suka!” Raihan membela diri.

Ceramah Raihan tempo hari tersebar di mana-mana. Di kanal media sosial, ragam komentar berseliweran. Silang pendapat makin meruncing, pro-kontra bersahut-sahutan.

Kelompok anti pemerintah memanfaatkan ceramah itu untuk menyerang penguasa. Nama Raihan diperbincangkan. Sepertinya sebentar lagi akan diundang ke banyak tempat, menyaringkan suara-suara berbeda.

“Nih lihat. Kan viral?” Raihan menunjukkan videonya dengan rasa bangga.

“Jadi maunya memang viral ya?” Salim penuh selidik.

“Dakwah di masa sekarang memang harus viral!” Raihan semangat menambahkan.

“Tapi kan dakwahnya harus baik!”

“Apa ada yang salah sama ceramah saya, tidak ada toh? Semuanya benar!”

“Tapi, sampai mengafirkan pemimpin. Pemimpin kita muslim loh Re!” Salim menimpali lagi.

“Muslim tapi zalim. Mereka munafik. Tahu, orang munafik di kerak neraka!”

“Kok mudahnya bilang ghitu!”

“Memang benar toh?” Raihan berapi-api.

“Rasulullah itu keras ke orang kafir. Berlemah lembut kepada sesama muslim.

Terhadap yang kafir saja Rasulullah masih menunjukkan akhlak terbaiknya. Ingat kisah
penduduk Thaif? Hati-hati loh Re!”

“Ah! Selama sistemnya bukan Islam!”

“HTI toh? Kan sudah dibubarkan!”

“Saya Islam!”

“Kita ini penyeru, bukan hakim!”

                                                                            ***

Salim kembali membuka lembaran kisah itu. Menyusuri pesona pribadi sang Rasul.

Di Thaif, saat seruannya yang lembut berbalas petaka. Penduduk Thaif yang murka melemparinya. Kata-kata penuh maki dan benci menguar ke udara. Tak hanya itu, ronrongan tombak bahkan mematahkan gigi sang Rasul. Zaid yang melindungi kena imbas, dipukuli beramai-ramai oleh penduduk Thaif yang tidak suka. Ada ceceran darah. Keringat bercampur air mata menyentuh tanah Thaif. Bersama putra angkatnya Zaid bin Haritsah, mereka mengevakuasi diri di kebun kurma milik putra Rabiah: Utbah dan Syaibah. Lalu munajat Rabbil Mustadh’afin itu dipanjatkan.

Ya! Saat bersandar di sebuah batang pepohonan, sambil menarik napas dan melenyapkan lelah, letih, dan air matanya. Nabi yang mulia merintihkan doanya.

Ya Tuhanku, kepada-Mu jua segala pengaduan atas kelemahan, ketidakberdayaan, dan kehinaanku di mata manusia.

Duhai Kau Zat Maha Pengasih Maha Penyayang, kepada-Mu orang-orang lemah berlindung dan Kau pulahlah pelindung bagiku.

Kepada siapa diriku hendak Kau serahkan? Kepada orang-orang jauh yang bermuka kecut itu, atau kepada musuh yang hendak menguasai dan mengoyak segala urusanku?

Sungguh, aku tiada peduli asalkan Kau tidak murka. Besar nian limpahan nikmatMu kepadaku.

Aku berlindung dari sinar cahaya wajah-Mu yang benderang mengusir kegelapan dan membaguskan urusan dunia dan akhirat.

Aku berlindung dari amarah yang hendak Kau turunkan ataukah murka yang akan Kau lampiaskan kepadaku.

Kau yang berhak meluruskan kealfaanku dengan keridhaan. Tak ada daya dan upaya kecuali atas kendali dan kehendak-Mu.

Salim mengulang-ulang membaca doa itu. Hingga dadanya serasa dipenuhi haru. Ia mencoba mencerna, menyelami lebih jauh kondisi Rasul kala itu. Juga kembali meraba keluhuran pribadi sang rasul. Bukankah Jibril telah menawarkan bantuan atas perintah Allah. Di Qarnul Manazil bersama malaikat penjaga gunung.

“Jika kau berkenan, Allah memerintah menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif yang angkuh!”

“Sungguh aku berharap, kelak dari rahim tanah Thaif akan lahir anak keturunan yang menyembah Allah saja tanpa mempersekutukanya!”

Jika bukan karena kelemahlembutan sang nabi. Akankah Islam ini sampai kepadamu?

                                                       ***

Salim betemu Raihan sore itu. Memamerkan kanal media sosialnya yang mulai kebanjiran pengikut.

“Bisa viral juga kan tanpa harus mencak-mencak!” Goda Salim.

“Maksudnya?” Raihan merasa terintimidasi.

“Nih…!”

Salim menunjukkan video monolognya yang berkisah tentang perjalan Rasulullah ke Thaif. Kisah yang seharusnya jadi peluruh duka namun ternyata menambah luka.

“Nih sudah nyaris puluhan ribu like. Sudah ditonton ratusan ribu kali. Belum sampai satu hari loh!” Salim memanas-manasi.

“Ah! Lebay. Segitu doang!” Raihan meledek. Namun sepertinya mulai terpancing.

“Bukan lebay. Ini smart bro!”

Obrolan Salim Raihan memang selalu tampak sarkas, namun kala berpisah keduanya tetap saling mencari dan merindukan. Mungkin jalan yang mereka pilih berbeda, namun ikatan batinnya selalu rekat seperti sekandung.

                                                                   ***

Senja sudah lama tenggelam, saat Salim sudah menuntaskan majelis pengajian.

Keriuhan yang ditemuinya di antara gerimis yang turun di malam itu adalah tanda. Seorang karibnya telah berpulang.

“Ada luka tembak!”

“Siapa?”

“Yang Ustas muda itu. Yang viral!”

Tatapannya makin sayu saat wajah yang dikenalinya digotong beramai-ramai. Ada tangis yang pecah di antara kebisingan petaka itu. Salim tak pernah menduga, ada bayangan kusam berselimut lara memeluknya.

Raihan!(*)

Cerpen "Ujung Jemari" adalah peraih juara 1 lomba menulis cerita pendek se-Indonesia yang diadakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada September 2022. Tema: Transformasi Digital Islam Wasathiyah untuk Peradaban Global.

Selamat datang jejakfakta.com dan selamat peringatan Sumpah Pemuda.

 

Salam,

Sultan Sulaiman

(Penulis) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Ujung Jemari #Cerpen #MUI #Majelis Ulama Indonesia #Sumpah Pemuda #jejakfakta.com #Sultan Sulaeman
Youtube Jejakfakta.com