Jejakfakta.com, BULUKUMBA -- Penerbitan SPPT dalam Kawasan Tahura adalah upaya peningkatan pendapatan daerah lewat pajak. Melalui komisi B DPRD Kab. Bulukumba mendorong DISPENDA untuk menarik pajak pemanfaatan Kawasan hutan di Bulukumba lewat penerbitan SPPT.
Hal tersebut disampaikan wakil ketua DPRD Bulukumba Fahidin HDK, saat membuka Rapat Dengar Pendapat
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten Bulukumba yang menghadirkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Pendapatan Daerah Bulukumba membahas masalah Penerbitan SPPT di dalam Kawasan hutan (TAHURA).
Baca Juga : Kemendagri Undang Bupati Andi Utta Presentasi Kinerja Pelayanan Publik
"Perlu diketahui bahwa dalam aturan ada pengecualian objek yang tidak dapat dilakukan penerbitan PBBP2 diantarnya hutan lindung, hutan suaka alam, hutan konservasi, dan lainnya," Fahidin HDK, Jumat (6/9/2024).
Hal ini ditegaskan oleh Kadis DLHK A. Uke Indah P bahwa Tahura merupakan Kawasan hutan yang statusnya lebih tinggi dari hutan lindung. Tahura merupakan hutan konservasi yang tujuannya untuk menjaga kelestarian flora dan fauna.
"Terkait penerbitan SPPT dalam tahura merupakan pelanggaran, dan sangat disayangkan karena teman-teman di DPRD tidak kordinasi dengan kami di DLHK sebelum membuat kebijakan yang ada kaitannya dengan Kawasan hutan," tegas A. Uke Indah P.
Baca Juga : Pertama Masuk Kantor Pasca Cuti, Ini Pesan Bupati Andi Utta
Hal ini juga diakui oleh pihak DISPENDA yang hadir dalam RDP bahwa betul ada SPPT yang terbit dalam Tahura. Sesuai dengan arahan DPRD sehingga Dinas Pendapatan Daerah berani menerbitkan SPPT dengan menjalankan beberapa mekanisme, termasuk membuat pernyataan bagi warga yang akan diterbitkan SPPTnya. Dispenda menegaskan bahwa SPPT bukan bukti Hak Kepemilikan serta tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan transaksi jual beli.
"Kami akan bekukan SPPT yang terlanjur terbit dan memastikan untuk saat ini tidak akan ada penerbitan SPPT dalam Kawasan Tahura," ujar pihak Dispenda.
Dua minggu sebelumnya masyarakat Darubiah merespon polemik penerbitan SPPT ini dengan aksi di kantor Desa. Kesaksian beberapa orang yang menjadi subjek penerbitan SPPT ini bahwa mereka ditarik tagihan 1-10 juta rupiah untuk penerbitan.
Baca Juga : PLN UID Sulselrabar Hadirkan Energi Bersih di Pulau Terluar Bulukumba
Hal inilah yang membuat keriuhan di Masyarakat terutama mereka yang telah lama menggarap lahan dan bermukim dalam Tahura. Pasalnya nama-nama yang tercantum dalam 20 orang yang terbit SPPTnya merupakan nama baru dari sejak awal persoalan Tahura ini diminta oleh warga untuk dilepaskan karena warga memiliki keterkaitan sejarah kebudayaan Masyarakat darubiah lahir.
Awal Fajrun, Pimpinan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bulukumba yang ikut mendampingi warga sejak polemik SPPT ini muncul memaparkan bahwa kasus penerbitan SPPT di dalam Kawasan TAHURA terindikasi mengarah ke trasaksi jual beli lahan dalam Kawasan hutan konservasi yang terencana dengan melibatkan beberapa oknum pemerintahan baik pemerintah Desa maupun Eksekutif kabupaten dan oknum Legislatif Kab. Bulukumba.
"Hal ini mirip dengan kerja-kerja mafia tanah," tegas Awal.
Baca Juga : Tingkatkan PAD, Bapenda Gelar High Level Meeting Percepatan Digitalisasi
Awal juga mendesak agar pihak Kejaksanaan Bulukumba segera mengusut tuntas terbitnya SPPT dalam Kawasan hutan konservasi yang terindikasi mengarah ke jual beli lahan dalam Kawasan.
"Ini harus segera diusut sebab pola ini lazim digunakan mafia tanah dalam memuluskan jual beli tanah dalam Kawasan TAHURA Bulukumba. Khawatirnya lahan-lahan di dalam konservasi habis terjual mengatasnamakan Masyarakat kecil/lokal (korban) akan tetapi akhirnya jatuh ke pejabat-pejabat yang menjadi dalam kasus penerbitan SPPT," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News