Jejakfakta.com, Makassar -- KontraS Sulawesi melakukan launching laporan audit sosial yang diberengi dengan diskusi dan buka bersama di Kantor KontraS Sulawesi, Minggu (31/3/2024). Dalam launcing laporan audit sosial, KontraS Sulawesi mengangkat isu reklamasi pulau Lae-lae sebagai isu strategis.
Audit sosial adalah mekanisme yang dilakukan oleh suatu organisasi atau kelompok untuk melakukan pemantauan, assesmen dan pengukuran prestasi suatu objek dalam kinerja sosialnya.
"Dalam konteks pemantauan yang kami lakukan, audit sosial digunakan untuk assesmen terhadap kinerja sosial pemerintah daerah termasuk kebijakan publik yang berdampak luas,” kata Al Iqbal selaku pemapar mewakili KontraS Sulawesi.
Baca Juga : Pertamina Pastikan Stok BBM di Sulsel Aman Jelang Nataru
Iqbal menjelaskan alasan reklamasi pulau Lae-lae yang diangkat menjadi isu strategis dalam audit sosial yang mereka lakukan.
Menurutnya, Reklamasi pulau Lae-lae merupakan proyek pengganti reklamasi CPI yang belum rampung. Dimana Pemprov Sulsel masih memiliki kekurangan lahan sekitar 12,11 Ha dari hasil pembagian lahan reklamasi antara pemprov Sulsel dan PT. Ciputra Nusantara serta PT. Yasmin yang bertindak sebagai pengembang.
"Nah, kekurangan lahan itulah yang kemudian dipindahkan ke pulau Lae-lae. Namun ternyata terjadi penolakan keras dari warga pulau Lae-lae. Artinya, kebijakan yang dibuat oleh pemprov Sulsel tidak sejalan, bahkan dianggap menjadi suatu ancaman oleh masyarakat,” ungkap Iqbal.
Baca Juga : Appi Tegaskan Pembangunan Stadion Makassar Tak Bisa Ditunda, Jadi Prioritas Utama
“Disinilah Audit Sosial diperlukan untuk melakukan pemantauan atas kebijakan publik yang akan berdampak pada masyarakat luas yang didalamnya terdapat kelompok marjinal,” tambahnya.
Dari pemaparan laporannya, Iqbal menjelaskan tahapan-tahapan dalam melakukan audit sosial. Mulai dari tahap pra-audit, pelaksanaan audit hingga mendapat suatu kesimpulan dan rekomendasi.
Baca Juga : Hari Sumpah Pemuda, Pj Gubernur Ajak Generasi Muda Hormati Perbedaan dan Keberagaman
Dari isu yang diangkat, pihaknya terlebih dahulu mengidentifikasi masalahnya termasuk perkembangan isunya. Kemudian ia melakukan pemetaan aktor yang terkait dalam permasalahan tersebut.
KontraS Sulawesi menemukan ada 2 aktor kunci yang memiliki kepentingan dan kekuatan yang besar dalam isu ini.
Pertama, warga pulau Lae-lae, mereka memiliki kepentingan untuk mempertahankan wilayah tangkap mereka. Kekuatan pengaruh mereka juga sangat besar terbukti dengan persatuan mereka dalam melakukan penolakan sehingga proyek reklamasi pulau Lae-lae yang direncanakan akan selesai bulan Juli itu tidak terlaksana sama sekali.
Baca Juga : Gerakan Pangan Murah di Makassar Diharap Kendalikan Inflasi dan Harga
Kedua, Pemprov Sulsel, dimana kepentingan mereka dari proyek reklamasi ini adalah untuk mendapatkan lahan pengganti dari reklamasi CPI yang nantinya akan menjadi asset pemprov. Sedangkan kekuatan pemprov dikatakan besar sebab Pemprov memiliki wewenang untuk membuat regulasi.
Ada beberapa penjelasan menarik dari proses audit sosial yang dilakukan serta temuan-temuan baik dari hasil penelusuran dokumen dan wawancara yang merupakan metode pengumpulan data dalam audit sosial ini.
Iqbal menjelaskan rencana reklamasi pulau Lae-lae sejak awal direncanakan secara sepihak. Rencana ini sama sekali tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat pulau Lae-lae. Padahal warga pulau Lae-lae adalah pihak yang paling terdampak dan berkepentingan atas segala kegiatan pembangunan di pulau tersebut.
Baca Juga : Didukung Telkom, 350 Guru di Sulsel Tingkatkan Kompetensi Lewat Pelatihan Digital
"Anehnya, dalam draft Amdal penyusun mengatakan bahwa 99% masyarakat pulau Lae-lae setuju dengan rencana reklamasi tersebut. Namun fakta lapangan menujukan hal yang sebaliknya,” tegasnya.
Andra Dg. Bau, warga pulau Lae-lae yang hadir sebagai penanggap kemudian mengonfirmasi temuan-temuan dari audit sosial yang dilakukan oleh KontraS Sulawesi.
Ia menjelaskan semua informasi yang disampaikan oleh KontraS Sulawesi benar terjadi di lapangan.
"Kami sejak awal tidak tau kalau laut kami akan ditimbun. Kami baru tau ketika ada papan bicara yang berdiri di ujung pulau kami yang memberikan informasi soal reklamasi. Kemudian kami cabut dan mulai saat itu kami sering melakukan aksi bahkan kalau ada pemprov mau masuk pulau kami membahas reklamasi kami tidak biarkan. Karena kami tolak reklamasi tidak ada negosiasi,” tegas Dg. Bau.
“Lokasi reklamasi itu merupakan tempat kami menari nafkah. Bukan hanya laki-laki, tapi ibu-ibu bahkan anak-anak itu sudah bisa berpenghasilan dengan memanfaatkan hasil laut disekitar pulau kami. Tidak perlu lagi kami menggunakan perahu, cukup berjalan ketika air sudah mulai surut,” tambahnya.
Diakhir sesi, Iqbal meminta masukan kepada para peserta diskusi untuk menyempurnakan audit sosialnya. Hasil audit itu juga akan dimasukkan ke Pemprov dan DPRD Provinsi Sulsel.
“Setelah menerima masukan dari publik, laporan ini akam kami serahkan kepada Pemprov dan DPRD Provinsi Sulsel agar bisa menjadi pertimbangan dalam mentukan kebijakan terkait reklamasi pulau Lae-lae,” tutup Iqbal.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News