Jejakfakta.com, MAKASSAR -- PGRI Kota Makassar secara terang-terangan berpihak kepada terduga pelaku kekerasan seksual terhadap seorang siswi di SLB Laniang. PGRI Kota Makassar mengajukan penangguhan penahanan, serta mengupayakan perdamaian dan meminta agar korban mencabut Laporan Polisinya di Polrestabes Makassar.
Sikap ini terkuak melalui sumber dari salah satu media di Kota Makassar, secara tegas PGRI membeberkan beberapa alasan yakni terduga pelaku masih dibutuhkan tenaganya sebagai pengajar. Kedua yang bersangkutan juga tulang punggung keluarga.
“Upaya permohonan penangguhan penahanan, upaya damai dan permintaan pencabutan laporan yang diajukan oleh PGRI merupakan tindakan yang memalukan dan tidak bermartabat serta mencoreng tegaknya kode etik dan profesi guru serta mencederai rasa keadilan korban, ditambah lagi korbannya mengalami trauma atas peristiwa yang dialaminya.” jelas Ambara Dewita Purnama, Pendamping Hukum Korban dalam siaran persnya, Senin (24/11/2024).
Baca Juga : Polemik Kasus Pelecehan Seksual dan DO di FIB Unhas, Rudianto Lallo: Pelaku Harus Ditindak Tegas
PGRI sebagai organisasi profesi guru berwenang untuk memberikan bantuan hukum kepada guru dan perlindungan profesi guru sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Namun, menurut Ambara, tapi bukan berarti pelaku/tersangka boleh dimohonkan penangguhan dan mengajukan upaya damai dengan korban sekaligus mencabut laporan. "Apalagi perkara yang sedang ditangani bukan tindak pidana ringan dan tidak menutup kemungkinan akan muncul korban baru lagi jika pelaku kekerasan seksual tersebut tidak diberi tindakan serius," jelas Ambara.
“Alih-alih melindungi posisi anak didiknya sebagai korban, PGRI justru berpihak dan membela kepentingan pelaku yang merupakan seorang pendidik dengan dalih kebutuhan tenaga pengajar.”
Baca Juga : Tuduhan Lakukan Perusakan Kampus FIB Unhas Tidak Terbukti, 32 Mahasiswa Dibebaskan
Ambara menjelaskan, perlu diingat bahwa Pasal 5, Pasal 6 Ayat (1) Jo. Pasal 10 Jo. Pasal 36 Permendikbudristek No.46 Tahun 2023 juga mengatur mengenai kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan yang dilakukan oleh Pendidik dan dalam hal korban merupakan peserta didik berusia anak atau penyandang disabilitas yang dilakukan dengan persetujuan atau tanpa persetujuan korban.
Kepala Satuan Pendidikan atau Penyelenggara Satuan Pendidikan melakukan pembiaran terjadinya kekerasan serta berpihak kepada Terlapor/Pelaku maka akan diberikan sanksi oleh Kepala Dinas Pendidikan.
"Secara sadar juga PGRI Makassar telah melanggar Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman tingkah laku profesi dalam pengabdian terhadap bangsa, negara, serta kemanusiaan," tegas Nur Syarif Ramadhan, Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK).
Baca Juga : Usai Liput Unjuk Rasa Kasus Kekerasan Seksual, Lima Jurnalis LPM Catatan Kaki Unhas Ditangkap Polisi
Sikap yang diambil oleh PGRI Makassar dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru SLB terhadap seorang remaja Tuli.
"Kami tidak bisa membiarkan tindakan seperti ini dibenarkan atau dipertahankan atas dasar alasan apapun, termasuk klaim pembelaan yang datang dari pihak-pihak tertentu, seperti PGRI. Pembelaan terhadap pelaku hanya akan memperburuk luka yang dialami korban dan merusak integritas profesi pendidikan itu sendiri,” pungkas Syarif.
Hal terpenting tempat kejadian perkara terjadi di lingkup pendidikan yang seharusnya aman bagi setiap siswa dan siswi terlindungi dari segala bentuk kekerasan. Terlebih, terduga pelaku merupakan seorang guru yang secara terang mencoreng sebuah institusi pendidikan.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News