Oleh: Abdul Karim, Pegiat Demokrasi Sulawesi Selatan
Keluhan sejumlah politisi akhir-akhir ini tentang pilkada berbiaya mahal harus dilihat sebagai keluhan subjektif. Mereka mengeluh lantaran besarnya anggaran yang harus dikeluarkan dalam pencalonan kepala daerah.
Sesungguhnya keluhan itu merupakan perwujudan dari pepatah; “senjata makan tuan”. Sebab, biaya yang mereka keluarkan konon berjumlah jombo dan sebagian-nya tergolong ilegal.
Baca Juga : Indira-Ilham Ajukan Diskualifikasi MULIA, Tim Hukum: Silahkan Buktikan
Misalnya, mahar pencalonan untuk diusung parpol sangatlah besar. Dalam Undang-undang nomor 16 tahun 2016 tentang pemilihan, bahwa yang menjalankan praktek mahar politik jelas dilarang. Tetapi, meski dilarang, praktek ini tetap terjadi, cuma saja, penegakan hukum terhadap praktek ini tak pernah benar-benar diterapkan.
Selanjutnya, biaya money politik untuk menyogok pemilih, tentu sangat besar jumlahnya. Padahal, praktek ini juga dilaralang dalam UU Pilkada. Penegakan hukum untuk money politik pun cukup lemah. Disamping itu, paraktisi politik cukup piawai dan cakap dalam menjalankan operasi money politik. Misalnya, membahasakan sogokan politik uang dengan bahasa agama. Mereka menyebutnya, sumbangan.
Selain terlarang sesuai aturan, praktek money politik itu bukanlah contoh pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Itu adalah contoh negatif yang justeru merusak nilai-nilai budaya, agama dan demokrasi.
Baca Juga : Ganti Kadis Pj Bupati Enrekang Didemo, Hasruddin Nur: Rotasi untuk Memperbaiki Roda Pemerintahan
Berikutnya, biaya pemenangan saat sosialisasi. Mereka mengeluarkan biaya besar untuk sosialisasi dan pencitraan. Artinya, mereka tak yakin bakal dipilih oleh masyarakat bila tak menyebarkan ribuan baliho.
Dengan demikian, maka keluhan bahwa biaya politik pilkada mahal adalah ulah sendiri. UU pemilu dan pilkada melarang mahar politik, dan melarang money politik. Tetapi praktek itu tetap dijalankan. Inilah yang disebut senjata makan tuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News