Jejakfakta.com, JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kembali mengingatkan pemerintah, khususnya Menteri Kehutanan Raja Juli dan Presiden Prabowo Subianto, terkait rencana ambisius pembukaan lahan 20 juta hektar hutan dengan dalih mendukung ketahanan pangan dan energi.
YLBHI menilai kebijakan yang tengah digagas ini dianggap tidak hanya berpotensi memperparah kerusakan lingkungan, tetapi juga mengancam hak asasi manusia, terutama masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari total populasi Indonesia tahun 2003 tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan, dengan mayoritas merupakan kelompok miskin yang menggantungkan hidup pada sumber daya hutan.
Baca Juga : Pelantikan Anggota DPR 2024-2029, Amnesty Ingatkan Legislatif Harus Koreksi Kebijakan yang Tidak Ramah HAM
"Jika rencana ini direalisasikan, jutaan warga miskin akan kehilangan akses terhadap penghidupan mereka, memicu gelombang konflik agraria, dan penyingkiran paksa yang semakin memperparah ketimpangan social," ujar Direktur YLBHI, Muhammad Isnur.
Konflik Berulang di Balik Proyek Ambisius
YLBHI menyoroti pola pengambilan kebijakan pemerintah terhadap proyek-proyek besar, terutama Proyek Strategis Nasional (PSN), yang kerap mengabaikan hak dasar masyarakat atas informasi dan partisipasi.
Baca Juga : Bupati Andi Utta Harap Adaptasi Perubahan Iklim Tak Sekedar Formalitas
"Bahkan, pelibatan aparat keamanan seperti TNI dan Polri dalam proyek-proyek serupa sebelumnya, seperti Food Estate di Merauke dan proyek Rempang Eco City, telah menunjukkan kecenderungan penggunaan pendekatan represif," kata Isnur.
Data YLBHI mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir saja, terjadi 190 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang tinggal di kawasan hutan. Pola kekerasan, penggusuran paksa, dan intimidasi terus berulang, menciptakan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.
“Proyek ini tidak hanya melanggar hak atas lingkungan hidup yang sehat, tetapi juga hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat adat. Kebijakan ini sama sekali tidak mematuhi standar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Ekosob dan Hak Sipol,” ujar Isnur.
Baca Juga : Masyarakat Adat di Tahun Politik: 2.578.073 ha Wilayah Adat Dirampas untuk Kepentingan Investasi
"Praktek pembukaan lahan skala besar ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga kehidupan masyarakat adat, termasuk perempuan dan anak-anak, yang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, serta akses terhadap sumber pangan dan budaya."
YLBHI mencatat bahwa mereka yang menjadi korban penggusuran paksa seringkali tidak memiliki akses efektif terhadap mekanisme penyelesaian hukum, sehingga menempatkan mereka dalam posisi yang semakin rentan.
YLBHI dengan tegas mendesak pemerintah untuk menghentikan rencana pembukaan lahan 20 juta hektar dan kembali kepada prinsip-prinsip keadilan sosial, demokrasi, dan keberlanjutan. “Kebijakan pangan dan energi harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan melanggengkan eksploitasi dan ketimpangan,” tambah Isnur.
Rencana ini, jika tidak ditinjau ulang, hanya akan menciptakan kerugian besar bagi masyarakat dan lingkungan, sekaligus memperdalam jurang ketidakadilan sosial di Tanah Air.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News