Jumat, 18 April 2025 19:59

Belajar dari Bahlil Lahadalia

Editor : Redaksi
Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin bersama Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadali. @Jejakfakta/Istimewa
Mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin bersama Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadali. @Jejakfakta/Istimewa

Bahlil Lahadalia mengajarkan kita bahwa dalam dunia yang penuh dengan opini dan kontroversi, sikap bijak adalah memilih untuk tetap fokus pada pekerjaan yang lebih besar dan lebih penting.

Ilham Arief Sirajuddin

Sebagai mantan Wali Kota Makassar, saya pernah merasakan bagaimana posisi sebagai pejabat publik. Posisi yang boleh dibilang, menjadikan kritik sebagai sarapan paginya. Saya sebut sarapan pagi, karena kritik yang paling tajam dan seringkali membuat kuping merah, saat membaca koran, pagi-pagi. Saat sama kita sering menikmati sarapan—yang gara-gara kritik, teh manis pun jadi hambar. Bahkan, kadangkala sulit ditelan.

Pemimpin—atau pejabat publik saat ini—tak hanya berhadapan dengan kritik di koran. Tapi media online dan media sosial. Kanal atau platform yang setiap detik bisa melakukan update. Karena itu, badai kritiknya bukan hanya datang pada pagi hari. Tapi setiap saat. Setiap detik. Kritik bisa datang tanpa diduga.

Baca Juga : IAS: Demokrasi Butuh Akal Sehat, Bukan Isu Ijazah yang Menyesatkan

Ironisnya lagi, jika di koran, para pengeritik sangat jelas identitasnya. Mereka muncul setelah melalui verifikasi jurnalis. Bahkan, bisa jadi kita tahu rumahnya. Mungkin juga nomor teleponnya kita simpan. Malah bisa jadi, setiap hari kita berinteraksi. Jadi dengan mudah juga kita berkomunikasi, diskusi dan klarifikasi. Tapi di media social beda. Para pengeritik tidak kita kenal. Bahkan, kadangkala identitasnya tidak jelas, tapi kritiknya pedas bukan main.

Saat jadi Wali Kota Makassar, saya merasakan beberapa momentum yang penuh kritik. Bahkan, setiap hari, saya “diblender” di media massa. Salah satunya; Lapangan Karebosi. Salah duanya; reklamasi pantai losari yang saat ini, dua-duanya bisa dirasakan masyarakat.

Negatif vs Negatif

Baca Juga : Apresiasi PIK, IAS: Ide Keren dan Progressif Ketum

Kritikan publik seringkali dianggap sebagai sesuatu hal negatif. Tapi bagi saya, kritikan saya anggap justru sebagai “vitamin”. Dengan demikian, setiap kritikan pada saya, justru semakin menambah semangat untuk membuktikan bahwa yang ditudingkan itu tidak benar adanya. Mungkin gagasan saya tidak sempurna, tapi dari proses kritik, kita bisa melakukan perbaikan dan penyempurnaan.

Setelah sekian lama tidak lagi menjadi pejabat publik, saya menemukan momentum yang kurang lebih sama dengan yang saya alami saat memimpin Kota Makassar. Tapi situasinya mungkin lebih dramatis sekarang. Kalau saya istilahnya “diblender” maka kejadian baru-baru ini—bukan saya yang alami—mungkin lebih pasnya disebut sebagai “dirujak” netizen.

Menariknya, kejadian itu justru dialami Ketua Umum saya di Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Ia “dirujak” terkait beberapa kebijakannya sebagai Menteri ESDM. Salah satunya soal pembatasan gas elpiji melalui penyalur resmi. Beberapa kasus sebelumnya, terkait izin tambang untuk ormas dan untuk kampus. Dua yang saya sebut belakangan juga disambut badai kritik netizen.

Baca Juga : Temui Menteri ESDM, Wali Kota Munafri Atasi Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kilogram di Makassar

Saya menunggu-nunggu balasan atas hal negatif yang dialami ketua umum. Rupanya, tak ada respon berlebihan ditunjukkan. Hingga badai itu berlalu dan bisa tertangani dengan baik. Saya penasaran.

Momentum silaturahmi idulfitri memberi kesempatan saya bertemu langsung. Kesempatan ini tentu tidak saya sia-siakan. Saya ingin mendengar langsung seperti apa. Dan luar biasa! “Tidak ada waktu untuk membalas hal negatif dengan negatif.” Saya mendengar langsung kalimat tersebut yang mengalir deras dari bibirnya.

Tenang dan Fokus

Baca Juga : Jelang Musda DPD I, Munafri Silaturahmi ke Ketum Golkar

Saya tidak menyangka, di tengah kerasnya dunia politik dan arus kritik yang tak pernah surut, masih ada pejabat yang memilih tetap tenang dan fokus bekerja. Bahkan, di tengah derasnya kritik dan kencangnya para buzzer bekerja. Karena yang banyak terjadi, justru banyak pejabat publik yang terjebak dalam permainan saling serang.

Bahlil memilih untuk tidak mengikuti arus tersebut. Ia dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak punya waktu untuk membalas hal negatif tentang dirinya dengan hal negatif. Sebuah pernyataan yang sungguh menggugah, sekaligus mencerminkan filosofi kepemimpinan yang lebih matang dan berdimensi.

Dalam era di mana media sosial menjadi ajang perdebatan tanpa batas, dan opini publik cepat terbentuk hanya dalam hitungan jam, tak jarang para pemimpin politik terjebak dalam perang kata yang tidak produktif. Mereka seringkali meluapkan amarah atau memberi tanggapan yang cenderung memperburuk situasi, ketimbang menyelesaikan persoalan yang ada. Bahlil, sebaliknya, memilih untuk tidak membiarkan kritik yang datang—baik yang beralasan atau tidak—mengalihkan perhatiannya dari tugas utama: bekerja untuk negara.

Baca Juga : Calon Ketua Golkar Sulsel Satu per Satu Temui Bahlil Lahadalia, Giliran IAS Sampaikan Pesan Damai

Bahlil menunjukkan bahwa ketenangan adalah bentuk dari kekuatan. Menghadapi serangan atau kritik dengan cara yang bijak dan terukur menunjukkan kedewasaan, bukan kelemahan. Sikap ini juga mencerminkan pemahaman bahwa waktu dan energi seorang pemimpin terlalu berharga untuk dibuang pada hal-hal yang tidak produktif.

Sebagai pejabat publik, Bahlil mengutamakan substansi kerja dibandingkan bergumul dengan persoalan yang hanya bersifat sementara dan tidak konstruktif.

Di dunia politik, kita seringkali menemui fenomena di mana narasi negatif bisa dengan mudah dibalik menjadi batu loncatan untuk meraih popularitas atau simpati publik. Namun, pilihan Bahlil untuk tetap tenang, menjaga fokus pada pekerjaan, dan tidak membalas hujatan dengan hujatan, menjadikannya contoh teladan tentang kekuatan diam. Sering kali, sikap tenang justru menjadi jawaban terbaik terhadap kebisingan yang ada.

Tentu saja, tidak ada pemimpin yang bebas dari kekurangan. Tidak ada juga pemimpin yang sepenuhnya bebas dari kritik. Namun, yang perlu dicontohkan adalah bagaimana Bahlil mampu mengelola dirinya di tengah berbagai tekanan dan tantangan yang datang. Dengan sikap tersebut, Bahlil mengingatkan kita bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjaga komitmen dan konsistensi dalam menjalankan tugas, bukan mereka yang terbawa arus opini dan drama politik yang seringkali tak mengarah pada solusi.

Bahlil Lahadalia mengajarkan kita bahwa dalam dunia yang penuh dengan opini dan kontroversi, sikap bijak adalah memilih untuk tetap fokus pada pekerjaan yang lebih besar dan lebih penting. Ketika kita lebih sering berfokus pada kerja nyata, kita akan membuktikan bahwa pemimpin sejati bukanlah yang terbanyak berkomentar, tetapi yang mampu memberikan dampak positif melalui tindakannya.

Saya menganggap, teladan yang ditunjukkan Bahlil, tidak lahir begitu saja. Akan tetapi sudah dipupuk sejak kecil. Itu juga karena kemampuannya bertransformasi sebagai aktivis.

Saya sungguh salut—dan ingin belajar—pada sosok anak muda—yang boleh disebut kekinian—tapi masih memegang teguh nilai-nilai dan prinsip luhur ketimuran; jujur, berani, saling menghargai dan saling menghormati. Nilai, yang harus diakui, sudah banyak tergerus dengan perubahan zaman dewasa ini. Keluhuran budi pekerti seperti ini, tidak hanya menjadi milik bagi mereka yang masih memegang nilai-nilai leluhur, tetapi juga kuat memegang ajaran Islam. Saya tahu, Bahlil adalah aktivis HMI, yang menjadi dapur para kader pemimpin di daerah ini.

Bagi saya, yang jujur berada jauh di atas dari sisi umur, tentu harus banyak belajar. Sosok anak muda berprestasi dan berakhlak mulia. Sosok yang tidak hanya fokus pada diri sendiri, tapi juga pada orang lain. Pada sesama.

Mendengar langsung statemen yang sangat menyejukkan ini, saya langsung “kepo” dengan kepribadian lebih dalam sang Menteri. Sosok yang dengan kerja kerasnya berhasil mengubah nasib, bukan hanya dirinya, tapi juga banyak orang lain di sekitarnya. Dari keterangan orang-orang dekatnya, saya tahu, rupanya pak Menteri bisa digambarkan dengan tiga kata; positif, peduli dan berbagi.

Positif karena ia tidak suka dan tidak pernah melihat orang lain dari sisi negatif. Ini mungkin karena latar belakangnya dari keluarga sederhana, sehingga selama ini, ia dikenal sebagai sosok yang tidak senang mengomentari keburukan orang.

Peduli karena sosok Bahlil selalu ingin melihat orang lain itu semuanya baik. Hobinya tak mau melihat orang lain susah. Setiap dapat informasi, ada teman, sahabat kerabat yang dapat cobaan, ia langsung turun tangan. Hebatnya lagi, ia selalu memastikan bahwa urusan menanggulangi hajat itu sampai selesai.

Bahlil juga sangat prioritas jika ada keluarga, sahabat, teman yang meninggal dunia. Selalu urusan mengembalikan ke daerah itu ditangani sendiri. Jadi jangankan urusan pribadinya, urusan orang lain pun sudah sering digunakan pesawat mau komersil maupun pribadi. Saya menjadi saksi saat kepergian almarhum sahabat saya, Herman Heizer dan Nurhasan.

Berbagi merupakan karakter asli Bahlil. Ia selalu siap berkorban untuk siapa saja. Prinsip yang ada pada dirinya; banyak amanah orang yang ALLAH SWT titipkan lewat tangannya. Maka berkali-kali ia mengingatkan orang-orang di sekitarnya; jangan sekali-kali zalim terhadap amanah ALLAH SWT.

Baginya, hidup ini hanya sekali. Jadi apa yang sudah diamanahkan ALLAH SWT kepada kita, baik itu jabatan atau apa saja, harus dijalankan dengan penuh Amanah. Manfaatkan amanah ALLAH SWT ini sebaik-baiknya. Buat yang terbaik bagi keluarga. Jangan pelit sejahterakan keluarga dan jangan menutup mata dengan orang-orang di sekeliling.

Maka tidak jarang, kita menemukan sosok Bahlil yang diam-diam—dan memang suka—menguniungi panti-panti asuhan, rumah-rumah jompo. Ia juga sangat hobi membantu lembaga pendidikan tanpa harus melihat latar belakang. Baginya, apa yang diperoleh harus disampaikan kepada orang-orang yang berhak menerima. Jangan berhenti di kita.

Karena ibarat mata air, semakin banyak yang keluar, insya Allah semakin banyak juga yang masuk. Contohnya air zam-zam di Tanah Suci Mekkah. Sungguh sosok teladan yang baik, bukan hanya dari sisi kepemimpinan, tapi juga kemanusiaan dan keagamaan. Tetap semangat Tum!

*Mantan Wali Kota Makassar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Ilham Arief Sirajuddin #Bahlil Lahadalia
Youtube Jejakfakta.com