Hari ini, kita kehilangan lagi satu sosok penting, bagi Sulawesi Selatan, Bahkan Indonesia. Sosok yang bagi saya, lebih sering dan akrab disapa Puang Ocha. Satu nama yang kini tinggal dalam kenangan penuh hormat: Jusuf Manggabarani.
Ia telah berpulang, namun jejak keteladanan dan integritasnya masih terasa hidup—menyusup dalam ingatan, menuntun dalam keputusan, dan menguatkan dalam perjalanan banyak orang yang pernah bersentuhan dengannya. Kepergiannya bukan sekadar kehilangan seorang tokoh, tetapi kehilangan seorang penjaga nilai: ketegasan yang lembut, kebijaksanaan yang tenang, dan keberpihakan yang tulus pada kebaikan.
Bagi saya pribadi, almarhum bukan hanya seorang pemimpin. Ia adalah kakak. Ia adalah salah satu penentu penting dalam perjalanan karier politik saya. Terutama dalam salah satu momen paling menentukan yang saya yakin tidak diketahui banyak orang: pemilihan Wali Kota Makassar. Saya ingat betul bagaimana saat itu, konstelasi politik sangat dinamis dan penentuan suara di Fraksi ABRI menjadi salah satu kunci utama.
Baca Juga : Ngopi Subuh di Soppeng, IAS: Manajemen Waktu Subuh Dongkrak Produktivitas
Pak Jusuf saat itu menjabat sebagai Kapolda Sulawesi Selatan. Dalam situasi yang menegangkan dan penuh tarik ulur politik, beliau mengambil langkah yang sangat berarti. Bersama kakak saya, Ahmad Abdi—rekannya sesama alumni Angkatan 75 yang saat itu menjabat Direktur Reserse—beliau menunjukkan keberpihakan yang begitu manusiawi. Saat itu, Bu Sri, salah satu anggota Fraksi ABRI di DPRD Makassar, dipanggil ke SPN Batua, dan di sanalah saya mendengar langsung pesan yang tak akan pernah saya lupakan.
"Ibu Sri," kata Pak Jusuf dengan suara yang tenang namun penuh makna, "Pak Ilham ini anak polisi. Kita mau lihat anak polisi jadi wali kota."
Kalimat itu sederhana, tetapi mengandung kedalaman rasa dan kebanggaan institusional yang tulus. Atas dorongan dan perannya itulah, satu suara penting berhasil digerakkan, dan Alhamdulillah, saya bisa terpilih menjadi Wali Kota Makassar. Tidak ada pamrih, tidak ada tuntutan. Yang ada hanyalah semangat untuk melihat generasi berikutnya tumbuh, dan keyakinan bahwa keberhasilan seorang anak bangsa adalah keberhasilan bersama.
Baca Juga : Fikar: “Ini adalah takdirku bersamanya, saya datang karena Lillahi Ta’ala”
Kini, beliau telah tiada. Tetapi nilai-nilai yang beliau tanamkan—tentang loyalitas, keberanian mengambil sikap, dan kepercayaan pada generasi muda—akan terus hidup. Ia adalah pemimpin yang tidak banyak bicara, tetapi sekali bertindak, dampaknya terasa sampai jauh ke depan.
Selamat jalan, Puang Ocha! Terima kasih atas teladan dan keberanian yang abadi. Terima kasih telah percaya dan menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Semoga Allah SWT membalas segala amal baik, melapangkan jalan, dan memberi tempat yang terbaik di sisi-Nya. Ila Arwahu… Alfatihah
Oleh: Ilham Arief Sirajuddin (IAS), Wali Kota Makassar dua periode 2004 - 2014.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News