Jejakfakta.com, MAKASSAR — Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang rimbun dan asri menjadi saksi pertemuan penting para pegiat lingkungan, akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam Forum Diskusi Multipihak dan Seminar Perubahan Iklim yang digelar GEF SGP Indonesia bersama Fakultas Kehutanan Unhas, Senin (9/6/2025).
Diskusi lintas sektor ini mengangkat satu keresahan bersama: bagaimana menjaga kelestarian hutan dan lingkungan sambil tetap meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
Dekan Fakultas Kehutanan Unhas Prof. A. Mujetahid M., membuka diskusi dengan menyoroti keberhasilan pengelolaan Hutan Pendidikan seluas 1.300 hektare sebagai model kolaborasi.
Baca Juga : Polisi Segera Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Dosen Unhas
Sebanyak 109 warga kini terlibat aktif dalam berbagai kegiatan produktif seperti berkebun, beternak, hingga memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti penyadapan getah pinus dan aren, serta pengembangan wisata edukasi berbasis ekosistem.
“Kami membuktikan bahwa masyarakat bisa menjadi pelindung hutan, bukan perusaknya,” ujarnya.
Dr. Bambang Supriyanto, mantan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK dalam Forum Diskusi Multipihak dan Seminar Perubahan Iklim yang digelar GEF SGP Indonesia bersama Fakultas Kehutanan Unhas, Senin (9/6/2025). @Jejakfakta/Istimewa
Baca Juga : Unhas Undang Wali Kota Munafri Sebagai Keynote Speaker di ICP 2025, Dihadiri Delegasi 25 Negara
Perhutanan Sosial: Strategi Nasional, Bukan Sekadar Program
Dr. Bambang Supriyanto, mantan Dirjen PSKL KLHK, menggarisbawahi bahwa perhutanan sosial bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan strategi pemberdayaan desa yang hidup berdampingan dengan hutan.
“Dari 25.000 lebih desa di kawasan hutan, sepertiganya miskin. Maka akses kelola legal, pendampingan usaha, dan penguatan kelembagaan adalah keharusan,” ujarnya.
Baca Juga : Rumput Laut dan Perempuan di Tengah Cuaca Tak Menentu
Dengan lebih dari 8,3 juta hektare hutan sudah diberikan akses kelola kepada masyarakat—termasuk 358.000 hektare di Sulawesi Selatan—program ini membawa hasil nyata. Desa mandiri meningkat drastis, aktivitas ilegal menurun, dan kualitas ekologis membaik hingga 12 persen.
Komoditas seperti aren bahkan disebut lebih unggul secara ekonomis dibanding sawit. “Kuncinya adalah masyarakat merasa memiliki dan dilibatkan sejak awal,” tambahnya.
Sidi Rana Manggala National Coordinator - GEF SGP INDONESIA dalam Forum Diskusi Multipihak dan Seminar Perubahan Iklim yang digelar GEF SGP Indonesia bersama Fakultas Kehutanan Unhas, Senin (9/6/2025).
Baca Juga : Wakil Wali Kota Makassar Hadiri Peresmian Kantor Cabang A-Wing Group di Makassar
Krisis Iklim Hantam Komoditas Agribisnis: Petani Butuh Kepastian
National Coordinator GEF SGP Indonesia, Sidi Rana Manggala, memaparkan temuan riset di wilayah Sulawesi, termasuk Bulukumba, yang menunjukkan dampak nyata krisis iklim.
Dari gangguan siklus berbunga tanaman kopi dan cengkeh, hingga turunnya hasil rumput laut akibat sea bleaching, petani kini berhadapan dengan ketidakpastian iklim yang ekstrem.
Baca Juga : Wali Kota Makassar Tanam Mangrove di Untia, Dorong Pelestarian dan Ekonomi Pesisir
“Mereka tak tahu kapan harus tanam atau panen. Bahkan air nira pun berkurang drastis,” katanya.
Ia menyerukan pentingnya sinergi antaraktor—akademisi, CSO, NGO, hingga pemerintah—untuk menjamin pendapatan petani, meningkatkan daya saing produk lokal, dan menguatkan ketahanan agroekosistem.
Di Gorontalo, misalnya, petani kakao telah mengembangkan pestisida campuran sendiri. Namun tanpa pendampingan, ini berisiko. “Kami butuh jembatan antara praktik lapangan dan keilmuan,” tegas Sidi.
Dari Akademisi hingga Praktisi: Agroforestri dan Energi Hemat Didorong
Prof. Samuel dari Unhas menyebut sistem agroforestri sebagai jawaban masa depan. Namun, ia menekankan pentingnya adaptasi budaya dan lokalitas.
“Tak semua tanaman cocok di semua tempat. Ada yang rakus air, ada yang menghambat tanaman lain. Harus ada riset,” jelasnya.
Abdul Haris dari BUMDes Tumarila mengangkat isu energi dalam produksi gula aren. “Potensial, tapi boros kayu,” katanya, sambil mendorong solusi seperti tungku hemat energi.
Hasri dari Balang Institute menambahkan bahwa koperasi kini mulai mengembangkan energi alternatif yang lebih efisien.
Dr. Bambang pun menegaskan pentingnya inovasi berbasis kebutuhan lokal. “Kalau tungku efektif, dorong jadi program. Kalau ada tanaman produktif dan irit air, kembangkan. Kolaborasi adalah kuncinya,” ujarnya.
Tantangan Ekosistem DAS Balantieng di Tengah Perubahan Iklim
Penutup diskusi disampaikan oleh Prof. Andang Suryana Soma dari Fakultas Kehutanan Unhas yang memaparkan proyeksi perubahan iklim di DAS Balantieng. Dengan suhu diperkirakan naik hingga 27°C dan curah hujan bergeser, vegetasi dan produktivitas lahan ikut terdampak.
Di hulu, berkurangnya tutupan lahan mengurangi daya serap air; di hilir, abrasi meningkat akibat rusaknya mangrove.
“Tanaman seperti kakao dan kopi bisa menjaga iklim mikro. Tapi keberhasilannya butuh intervensi tepat dan berkelanjutan,” jelasnya.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News