Jejakfakta.com, Makassar - Kekurangan Kuota Pendaftar Perempuan untuk Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD) rupanya tak hanya di Makassar, namun itu juga terjadi untuk seluruh Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.
Hal itu disampaikan Komisioner Bawaslu Sulawesi Selatan, Saiful Jihad, Kamis (26/1/2023). Menurutnya, perpanjangan Pendaftaran Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD) yang terjadi di sejumlah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan pada tahap kedua, salah satunya akibat kurangnya pendaftaran kuota perempuan.
"Pendaftar yang ada, tidak mencukupi 30% perempuan di masing-masing desa/kelurahan. Jadi perpanjangan yang dilakukan, berbasis desa/kelurahan. Sehingga semua kabupaten ada perpanjangan," ujar Saiful pada jejakfakta.com saat dikonfirmasi via WhatsApp, Kamis (26/1/2022).
Baca Juga : Pertumbuhan Ekonomi di Sulsel Meningkat 5,09 Persen, Nugroho Wahyu: Dipengaruhi Impor Barang Bekas Cakar
Lantas apa penyebab sehingga minimnya perempuan dalam ikut proses pendaftaran Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD)? Atas dasar tersebut, jejakfakta.com berusaha mengkonfirmasi penyelenggara, akademisi hingga aktivis organisasi masyarakat sipil terkait masalah tersebut.
Pihak penyelenggara Bawaslu Sulsel mengatakan, kekurangan perempuan pada proses pendaftaran PKD, bisa disebabkan karena kurangnya minat perempuan dalam kerja-keja pengawasan, khususnya pada tingkat kelurahan.
"Mungkin animo perempuan yang perlu lebih kuat didorong," ujar Saiful Jihad.
Baca Juga : 51 Desa Wisata Sulsel Masuk 500 Besar Anugerah Desa Wisata Indonesia Kemenparekraf
Sementara itu, Ketua Panwascam Kecamatan Pitu Riase, Kabupaten Sidrap, Haedir Mapparudanni mengatakan, kekurangan pendaftar perempuan khusus wilayah kerjanya disebabkan karena kondisi demografis. Ada beberapa desa yang jauh aksesnya ke Kantor Panwascam, ditambah jalan yang rusak.
"Sehingga warga setempat beranggapan akan sulit melakukan proses kerja pengawasan. Apalagi, jika nantinya ada pekerjaan yang mengharuskan ke kantor Paswascam yang lokasih berjarak jauh. Dan rata-rata perempuan di lokasi tersebut tidak tahu mengendarai sepeda motor," ujar Haedir kepada Jejakfakta.com, Kamis (26/1/2023).
Menurut Haedir, meski sudah beberapa kali mendatangi lokasi tersebut untuk melakukan sosialisasi, namun peminat tidak ada.
Baca Juga : Resmikan RPH di Gowa, Mentan SYL: Bisa Menunjang Kebutuhan Daging Sapi di Sulsel
"Kalau di wilayah kecamatanku, jelas faktor demografis yang sangat mempengaruhi. Jauh dari ibu kota kecamatan baru jelek jalan," ungkapnya.
Selain itu, berdasarkan pengamatan Haedir di lapangan, mengingat ada warga terkendala dikarenakan akses jalan yang rusak, ia mengusulkan bahwa terkhusus di lokasinya, sebaiknya ada aturan yang membolehkan warga bisa mendaftar secara online.
Dosen Fakultas Hukum Unhas, Fajrurrahman Jurdi memandang bahwa kekurangan yang terjadi pada perekrutan PKD khususnya perempuan itu dikarenakan masih minimnya Sumber Daya Manusia di desa, terlebih dalam kerja-keja pengawasan.
Baca Juga : Juara Umum, MTsN 1 Kota Makassar Raih 91 Medali di Ajang Olimpiade Nusantara 2023
Selain itu, ia sudah mewanti-wanti kalau ini akan terjadi di desa, di mana minat orang di desa masih minim.
"Ada mindset berbeda pada tingkat di desa dan kota. Biasanya yang mendaftarkan diri itu rata-rata orang sarjana (berpendidikan tinggi). Namun, di kampung sedikit orang sarjana yang pulang kampung. Dan di desa masih kurang SDM," jelasnya.
Aktivis Demokrasi dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulawesi Selatan, Megawati mengatakan, kejadian seperti ini perlu pengamatan secara baik-baik dan melihat dimana sumber masalahnya, sebab di era sekarang ini demokrasi cukup terbuka sehingga kalau kurang yang ingin menjadi pelenggara berarti menjadi pertanyaan.
Baca Juga : Bupati Andi Utta Bersama Gubernur dan Beberapa Kepala Daerah Kunker ke Australia
"Kejadian seperti ini mesti butuh investigasi khusus kenapa ini bisa terjadi? Di era sekarang ini dimana demokrasi cukup terbuka dan seharusnya tidak ada kejadian seperti itu, apalagi ini bekerja sebagai wasit demokrasi," kata Megawati kepada Jejakfakta.com saat ditemui di Kantor LAPAR Sulsel, Kamis (26/1/2023).
Menurutnya, perlu melihat dari berbagai sudut pandang, misalnya dengan melihat apakah pendaftar sepakat dengan gajinya sebagai PKD, kemudian melihat sejauh mana informasi sampai ke masyarakat, serta melihat apakah masyarakat apatis soal penyelenggaran pemilu. Atau bahkan melihat bagaimana perang perempuan di ruang publik.
"Misalnya bisa kita lihat dari sisi gaji, siapa tahu dianggap kurang. Lalu kemudian dari sisi pendidikan soal peran perempuan di ruang publik. Apalagi, masih ada kultur patriarki yang terjadi di ruang publik itu atau bahkan masyarakat apatis soal kerja-keja pengawasan," lanjutnya.
Namun begitu, ia beranggapan bahwa ini tanggung jawab bersama dan hal seperti ini tidak boleh terjadi. Untuk itu, ia menilai semua stakeholder harus terlibat semua dalam melakukan pendidikan demokrasi.
"Namun tentu kita harus prihatin. Olehnya itu, ini tanggung jawab bersama, misalnya bagaimana peran Ormas, Partai, Negara dan NGO dalam melakukan pendidikan demokrasi," tambahnya.
Ketua Netfid Sulsel, Sukrianto juga mengatakan perlu kehati-hatian melihat semua ini, bisa jadi kekerungan pendaftar pada Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD) itu dikarenakan ada masyarakat yang beranggapan bahwa kerja-keja pengawasan Pemilu adalah kerja-keja elit dan jauh dari kultur masyarakat.
"Barangkali masyarakat mengganggap proses pemilu tidak menarik dan itu hanya isu elit," katanya.
Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad menegaskan, bahwa berdasarkan perpanjangan pendaftaran yang dikeluarkan oleh Bawaslu di setiap Kabupaten/Kota itu bukti bahwa Bawaslu sangat memperhatikan ruang Perempuan
"Hal ini menegaskan, bahwa Bawaslu berkomitmen kuat untuk memastikan keterpenuhan 30% perempuan di setiap tahapan, perempuan memiliki ruang yang sama dengan laki-laki," jelasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News