Kamis, 02 Mei 2024 19:29

Ross Tapsell Sebut Prabowo Gunakan Toxic Positivity dalam Pemilu 2024

Editor : Nurdin Amir
Penulis : Samsir
Ross Tapsell, professor dari Australian National University (ANU) sebagai keynote speaker Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) di di Palembang, Kamis (2/5/2024). @Jejakfakta/dok. Koalisi CekFakta
Ross Tapsell, professor dari Australian National University (ANU) sebagai keynote speaker Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) di di Palembang, Kamis (2/5/2024). @Jejakfakta/dok. Koalisi CekFakta

Pencari fakta harus mulai memindahkan fokus dari sekedar konten ucapan kebencian ke tingkat yang lebih serius lagi yaitu propaganda pemerintah.

Jejakfakta.com, Palembang -- Indonesia Fact Checking Summit (IFCS) diselenggarakan pada Kamis, 2 Mei 2024 di Palembang. Acara yang dihadiri lebih dari 500 peserta ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) dan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dengan didukung Google News Initiative.

IFCS merupakan forum nasional yang mengulas tentang tren gangguan informasi, penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan dinamika ekosistem media selama pemilu 2024. IFCS di Palembang ini adalah pertemuan ketiga kalinya yang dihadiri lebih dari 500 peserta terdiri dari media, jurnalis, mahasiswa dan akademisi.

Sesi pertama, IFCS menghadirkan Ross Tapsell, professor dari Australian National University (ANU) sebagai keynote speaker. Ross Tapsell mengatakan bahwa para pencari fakta harus mulai memindahkan fokus dari sekedar konten ucapan kebencian ke tingkat yang lebih serius lagi yaitu propaganda pemerintah.

Baca Juga : Muslimin Bando dan Mitra Fakhruddin Ikuti Rakornas PAN, Dihadiri Presiden Terpilih Prabowo

Tapsell telah melakukan riset dan membandingkan tiga negara yang sama-sama melakukan pemilu, yaitu Indonesia, Filipina dan Malaysia. Dan apa yang terjadi di ketiga negara itu tidak terlalu berbeda dalam hal kampanye calon presiden melalui media sosial.

“Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia dan Filipina itu hampir sama dalam hal ini selama pemilu, namun ada sedikit perbedaan,” kata Tapsell melalui keterangan tertulisnya.

Menurut Tapsell, kandidat presiden Filipina pada masa itu Marcos Jr menggunakan media sosial TikTok untuk menggambarkan bagaimana hebatnya pemerintahan Marcos masa lalu. Ini jelas disinformasi,”kata Tapsell.

Baca Juga : Kepercayaan Publik Membaik, Media Jadi Lembaga Penjernih Informasi

Berbeda dengan Calon Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan elit Orde Baru lainnya yang tidak menuliskan sejarah masa lalu seperti Marcos. Namun keduanya sama-sama menggunakan toxic positivity dalam kampanye.

Tapsell mengatakan kampanye Prabowo adalah kebalikan dari apa yang selama ini dipahami sebagai disinformasi. Daripada menggunakan taktik kampanye negatif, kampanye ini bertujuan untuk secara konsisten membangkitkan energi positif.

Prabowo sering kali setuju dan mengucapkan terima kasih kepada lawan-lawannya selama debat, namun tetap menghindari wawancara dan konferensi pers yang mungkin akan membuat dia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang masa lalunya atau meneliti kebijakan-kebijakannya di masa depan.

Baca Juga : Alasan di Balik Prabowo Subianto Dapat Pangkat Jenderal TNI Kehormatan

Prabowo juga mengiyakan dan tidak pernah menjelekkan pasangan lain, termasuk kebijakan yang dilakukan pemerintah saat ini.

“Ini menjadi tantangan untuk pencari fakta, juga mengidentifikasi kembali apa itu disinformasi.Bagaimana pendapat kita mengenai peran media sosial dalam kampanye ini, jika media sosial tidak menyebarkan disinformasi dalam bentuk yang kita kenali?” tanya Tapsell.

Acara IFCS juga melakukan diskusi bertema “Findings and Challenges in Handling Information Disruption During the 2024 Election" yang mengundang sejumlah pakar diantaranya Koordinator Koalisi CekFakta Adi Marsiela, News Partner Manager Google Indonesia Yos Kusuma, Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, dan Kepala Ummi Salamah

Baca Juga : Prabowo Subianto Resmi Menerima Gelar Kehormatan Jenderal TNI Bintang 4

Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menyatakan tingkat trust masyarakat dengan penyelenggaraan pemilu 2024 ini berbeda dengan sebelumnya.

“Yang kita hadapi bukan saja akun-akun atau aktor politik, tetapi juga konten farming. Ekosistem Cek Fakta bisa menghasilkan 400-500 sebulan, sementara konten yang diproduksi oleh konten farming ini bisa 4-5 video per hari persaluran,” kata Septiaji.

Menurut dia tantangan ke depan lebih banyak. Jadi bukan hanya disinformasi, tetapi juga masuknya Artificial Intelegence (AI).

Baca Juga : Anies Hadiri Penandatanganan Komitmen Kemerdekaan Pers, Ganjar via Zoom dan Prabowo Diwakilkan

“Ada deep fake audio dan video dan belum ada yang sangat serius, sangat mungkin kalau lebih canggih akan membingungkan,” kata Septiaji.

Septiaji juga menyampaikan kalau pengecekan fakta tidak cukup, semua pihak harus juga masuk ke pencegahan de-bunking dan harus berkolaborasi dengan semua, termasuk pihak internasional.

Sementara itu Koordinator Koalisi CekFakta Adi Marsiela mengatakan bahwa CekFakta sudah melakukan pengecekan hampir 3.523 artikel dikumpulkan oleh koalisi yang dibongkar kebohongannya oleh CekFakta pada 2023 lalu.

Sementara hingga dari Januari hingga 20 April 2024 ada sebanyak 2.268 artikel yang dibongkar oleh CekFakta. Jumlah yang banyak itu karena momen pilpres 2024, dan ramai dengan aplikasi sirekap.

Adi menyampaikan lima topik teratas sejak Januari 2024 adalah Pilpres (37,5 persen), politik (13,7 persen), luar negeri (12,7 persen), penipuan (11,2 Persen) dan bencana (7,5 persen).

“Pilpres dan politik dibedakan karena momennya berbeda. Kalau isu politik terkait kebijakan pemerintah,” kata Adi.

Sementara itu Yos Kusuma, News Partner Manager Google Indonesia menyebut banyak bekerja sama dengan mitra ekosistem untuk menghadapi Pemilu, membekali masyarakat agar dapat mengenali hoaks.

Ummi Salamah, Kepala LPPSP Fisip Universitas Indonesia menekankan agar cekfakta menampilkan sisi emosional agar bisa diterima banyak kalangan. “Pesan yang lebih emosional lebih diterima. Karena arsitektur dari digital adalah emosional, buktinya like, ini kan emosi,”kata Ummi Salamah.

Talkshow sesi utama diakhiri dengan makan siang. Setelah makan siang, ada beberapa talkshow lanjutan seperti Literasi Media, Preferensi Politik dan Kepercayaan Publik pada Media dan Mencari Praktik Ideal Pemeriksaan Fakta Bagi Ruang Redaksi di Era Post Truth. Dan IFCS diakhiri dengan pidato penutup oleh Profesor Masduki dari UII tentang bagaimana media menyiapkan diri menghadapi disrupsi informasi pada Pilkada 2024.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Indonesia Fact Checking Summit #IFCS #Ross Tapsell #pencari fakta #konten ucapan kebencian #propaganda pemerintah #Prabowo Subianto
Youtube Jejakfakta.com