Oleh; Abdul Karim (Kolumnis dan Pegiat Demokrasi)
Pada bangsa Bugis, Makassar dan Mandar, nama Aco tergolong nama kuno. Sejak dulu, orang-orang di kampung memberi nama bayi lelaki mereka, Aco. Aco adalah identitas maskulin bagi penduduk Bugis, Makassar dan Mandar. Tak ada bayi perempuan diberi nama Aco.
Menariknya, nama Aco tak hanya bagi penduduk kebanyakan atau masyarakat awam saja, bahkan nama Aco juga diberi pada putra-putra bangsawan. Juga tak sedikit agamawan menamai putranya sebagai Aco. Jadi, nama Aco adalah nama lintas kelas, dan nama tak pandang bulu.
Baca Juga : Berkunjung ke Ponpes di Sinjai, IAS Sebut Kualitas Beragama Menentukan Berkah Sebuah Daerah
Beberapa teman saya juga bernama Aco. Dikampung saya yang kultur petani, beberapa rekan kecil saya bernama Aco. Di desa sebelah, beberapa anak-anak juga bernama Aco. Bahkan, beberapa pria dewasa di desa saya juga disapa Aco.
Aco teman SD saya, adalah putra ke lima dari tujuh bersaudara. Kedua orang tuanya adalah petani murni. Beberapa petak sawah dan kebun di kampung adalah milik orang tua Aco. Kami sering bermain disawah milik orang tua Aco, terutama bila musim hujan atau musim panen tiba. Kami mencari jangkrik hingga belut di sawah milik Aco.
Aco adalah anak petani yang kuat dan pandai. Ia bisa membajak sawah, mampu menanam padi disawah, sering membantu ibunya di kebun. Di bangku SD, Aco termasuk anak pintar. Sejak kelas 1 hingga kelas 6, ia berlangganan ranking lima besar.
Tetapi, di tahun 1980-an silam, sekolah tak menarik bagi kebanyakan penduduk kampung. Mereka lebih tertarik menjadi petani atau perantau. Mungkin karena itulah, Aco teman SD saya bersekolah hanya sampai di bangku SLTA. Ia tak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. “Saya di kampung saja, menjadi petani dan beternak sapi”, katanya suatu hari saat tammat SLTA.
Di pondok pesantren tempat saya menimba ilmu, tak sedikit santri bernama Aco. Senior saya pun juga bernama Aco. Latar belakang keluarga mereka bervariasi; ada anak petani, pedagang, dan anak pegawai negeri.
Aco anak petani senior saya boleh dikata guru kami yang masih santri junior. Ia mengajari kami mengaji, membaca kitab hingga mendidik kami menjadi da’i ummat. Ia tergolong santri soleh, rajin ibadah dan ulet sekolah di madrasah. Setammatnya disana, Aco sanior kami melanjutkan pendidikannya di universitas Al Azhar, Mesir melalui program beasiswa.
Ketika saya berkuliah dikota, saya berjumpa dengan banyak rekan mahasiswa. Disinilah, hidupku semakin dikerumuni Aco. Bagaimana tidak, di kampus saja, beberapa rekan mahsiswa bernama Aco. Lalu di organisasi kemahasiswaan lintas kampus, berderet nama-nama Aco sebagai aktivis mahasiswa. Kadang saya merenung, barangkali masih banyak mahasiswa non aktivis dikota ini juga bernama Aco.
Suatu hari, kami rapat persiapan aksi demonstrasi lintas kampus. Berhimpun puluhan aktivis lintas kampus, lelaki dan perempuan. Tak kurang dari lima orang diantara mereka disapa Aco. “Rupanya banyak Aco diantara kita yah”, lelucon moderator rapat siang itu.
Di kampus saya, ada pula senior kami bernama Aco. Ia termasuk mahasiswa cerdas. Kecerdasannyalah membuatnya menerima beasiswa khusus dari Supersemar hingga sarjana. Saat diwisuda, ia berpredikat cumlaude. Ia lantas bekerja di lingkup kementrian agama. Aco senior kami ini bahkan pernah menjabat kepala kantor kementrian agama disuatu daerah.
Kisah tentang Aco pun berlanjut. Di sebuah kota kecil rekan saya, diantara kawanan preman, hanya ada satu preman yang ditakuti disana. Ia preman tengik dan kejam yang pernah ada. “Semua orang kenal dia. Kalau memalak di pasar, sungguh kejam. Orang-orang yang menolak memberinya uang dihajar ditengah pasar. Anak buahnya banyak”, tutur rekan saya. Dan preman tengik itu bernama Aco.
Konon, Aco yang preman itu berbadan kekar, berwajah sangar. Jari tangannya besar. Rambutnya gonrong. Punya anak buah puluhan orang. Dan ia dikenal punya ilmu kebal. “Ia pernah ditembak polisi, tapi tak mempan”, cerita rekan saya. Ia pernah dijebloskan ke dalam sel tahanan Polsek setempat. Saat ditangkap polisi, tangannya diikat rantai besi. Dan ketika ia dijebloskan ke dalam ruang tahanan, tengah malam ia melarikan diri. Rantai besi ia patahkan, gembok ruang sel ia hancurkan. Sejak peristiwa itulah Aco tak pernah lagi diringkus polisi.
Pernah suatu hari, disiang bolong, hari Jumat, Aco dan anak buahnya memalak seorang ustadz yang baru saja pulang dari masjid berkhutbah. Ia dihadang oleh anak buah Aco yang siang itu nongkrong di sebuah pos ronda meneguk khamar. Amplop hasil khutbah sang ustadz disetor ke anak buah Aco. Naas bagi sang ustadz, kepuasan bagi Aco bersama anak buahnya.
Bila dikota kecil itu ada pesta pernikahan Aco seringkali terlibat perkelahian dengan sesama kawanan preman lain. Dan selalu saja Aco dan anak buahnya menjadi pemenang dalam perkelahian itu. Aco disana adalah gembong pencipta onar. Ketenangan penduduk seringkali terusik oleh kelakuannya.
Dalam hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada, Aco selalu dikontrak oleh tim pemenangan kontestan. Baik itu tim caleg, maupun tim calon kepala daerah. Tugasnya, menjadi body guard bagi tim kontestan yang menyewanya. Tugas lainnya, menghalau preman lain yang disewa oleh kontestan lainnya. Aco juga bertugas memobilisasi masyarakat untuk memilih kontestan yang menyewanya. Tentu saja mobilisasinya disertai intimidasi dan ancaman kekerasan kepada warga. Jadi, warga memilih kontestan sesuai instruksi Aco.
“Tidak semua manusia bernama Aco preman tengik. Aco dikampung saya justeru lembut, gemulai, kemayu dan feminim”, kata seorang rekan saya yang lain. Berbeda dengan Aco preman itu, Aco yang satu ini justeru gemulai, jemarinya lembut dan lentur. Wajahnya cukup glowing pertanda Aco ini total perawatan. Giginya dipasangi kawat gigi yang mahal. Kulitnya bersih, rambut dicat persis warna ekor kuda. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung setelah operasi plastik. Payudaranya montok. Bibirnya merah dan selalu basah. Bodynya slim dengan bokong persia biola.
Tetapi, suara Aco yang satu ini persis suara lelaki. Itu artinya, Aco ini seorang waria cantik. Ia tak jago berkelahi seperti Aco preman itu. Tetapi ia ahli merias wajah calon pengantin. Aco ini seorang waria terampil, cantik dan kaya. Ia punya bisnis salon dan penyewaan perlengkapan pengantin. Mulai pakaian pengantin hingga pernak-perniknya. Bisninsya cukup terkenal berlabel “Aco Salons”. Ia kadang menerima orderan diluar daerahnya. “Di kecamatan kami, hampir semua acara pengantinan ditangani Aco Salons”, kata rekan saya.
Aco yang ini tergolong waria sukses yang cantik. Kecantikannya mengalahkan banyak gadis-gadis sekitar. Ia menolak disebut pria. Ia justeru senang disebut wanita. Teman-temannya, semuanya wanita. Ia juga tergabung dalam grup arisan yang pesertanya berjenis kelamin wanita. Seperti halnya gadis kebanyakan, Aco yang inipun punya pacar seorang lelaki tulen mantan preman.
Tetapi Aco tak seperti waria lainnya yang mengubah namanya layaknya nama wanita. Ia tetap memakai nama Aco. Berbeda dengan waria-waria lainnya yang mengubah namanya menjadi Santi, Betty, Susan dan sebagainya. Aco kukuh tak mau ubah namanya.
Tetapi, sebagian anggota tubuhnya ia ubah; wajah, hidung, hingga payudara ia ubah sebagaimana wanita kebanyakan. Konsistensi Aco pada namanya karena konon nama itu pemberian kakeknya. Ia cucu paling dekat dengan kakeknya.
Lalu kelaminnya, kenapa dia tak ubah? Ia menolak operasi kelamin seperti waria kebanyakan bukan karena ia tak punya uang. Ia tak megubah kelaminnya sebab saat ia disunat penuh rangkaian ritual. Seekor sapi peliharaan kakeknya disembelih saat Aco disunat. Tak kurang 21 ekor ayam jantan disembelih pula. Entah berapa ekor ikan disajikan pula. Beras satu kuintal di masak saat itu. Telur ayam kampung sebaskom sedang disiapkan pula.
Aneka kue tradsional dan buah-buahan seperti kelapa dan pisang disajikan sebagai bahan-bahan ritual. Upacara sunatan Aco saat itu diritualkan dengan khusyuk dan dipimpin langsung oleh sang kakek. Imam dan pegawai syara’ kampun datang membaca Barazanji. Seisi kampung, diundang hadir untuk mendoakan dan merayakan bersama sunatan Aco. Dengan ritual sunatan itulah Aco menolak operasi kelamin.
Aco lalu tumbuh menjadi sosok waria kaya. Mobil Pajero miliknya terparkir diteras rumahnya. Interior mobilnya full warna ungu muda dengan sepasang boneka hello kitty. Bisnis salon dan jasa layanan pengantinan membuat brand “Aco Solons” tersiar dimana-mana. Bisnis itu pula mengantarnya menjadi salah satu pengurus teras Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) di daerahnya. Namun dimanapun ia berpijak, Aco lah sapaannya.
Ada pula kisah tentang Aco tuna wicara. Ia bernaung disebuah kamar kontrakan bersama orang tua dan adiknya. Orang tuanya pekerja serabutan di kota itu. Aco tumbuh menjadi remaja dengan dunianya sendiri. Berbeda dengan rekannya yang bersekolah hingga SLTA, Aco saban hari hanya mondar-mandir dilorong sekitar kediaman kontrakannya.
Tetapi pernah suatu hari, Aco ditangkap petugas Satpol Pamong Praja dengan alasan untuk pembinaan. Saat itu, ia melakoni sebagai juru parkir dan pak Ogah bersama temannya di dekat sebuah pertokoan yang tak jauh dari lorongnya. Ia digelandang petugas, lalu dibawa ke kantor dinas sosial. Orang tuanya tak tahu bila Aco tertangkap. Setelah dua atau tiga malam tak pulang-pulang, orang tua Aco mulai gusar. Untung saja, seorang tetanganya pernah melihat Aco digelandang petugas di Medsos. Buru-buru ia menyampaikan hal itu kepada orang tua Aco.
Dengan menyewa becak motor, ibu Aco menuju kantor dinas sosial. Disana ia tambah gelisah lantaran Aco tak ada di dalam ruang penampungan anak jalanan yang dibina dinas sosial. Akhirnya, ibu Aco memutuskan keliling kota dengan rental becak motor. Untung saja ada tetangganya berbaik hati meminjamkan uang untuk rental becak motor.
Hampir dua pekan ibu Aco keliling kota, pagi, siang dan malam ia mencari Aco. Disuatu pagi, lepas subuh, ia menemukan Aco tidur beralaskan kardus di emperan toko Alfa Mart. Ibunya langsung memeluk Aco yang masih tertidur. Saat terbangun, Aco memeluk erat ibunya yang menitikan air mata. Aco pun menangis.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Aco menceritakan yang dialaminya pada ibunya dengan bahasa isyarat. Ibunya faham betul apa yang dialami Aco sejak ditangkap petugas. Dan supir becak motor penasaran dengan cerita Aco.
Ibu Aco lalu menceritakan pada supir becak motor itu. “Anak ini hanya semalam menginap di penampungan dinas sosial. Mungkin karena dia tuna wicara, petugas membebaskannya. Tapi, petugas-petugas disana tak punya otak dan perasaan, dia tahu kalau anak ini tuna wicara kenapa dibebaskan begitu saja”, celoteh ibu Aco menyampaikan kekesalannya pada si supir becak motor tua itu.
Saat Aco dibebaskan petugas, ia tak tahu jalan pulang ke rumahnya. Tak tahu ia mau kemana. Tak mungkin pula ia bertanya pada orang-orang. Ia lalu berjalan kemana saja dan tidur dimana saja. Dua pekan lamanya ia berjalan menyusuri kota, hingga akhirnya ia tiba di sebuah toko Alfa Mart, persis di batas kota.
Selama dua minggu itu, Aco dapat membeli makanan dan minuman dari hasi keringatnya menjadi juru parkir dimana saja. Dengan sisa-sisa uang parkir itulah, dipakai melunasi sebagian biaya sewa becak motor ibunya. Sebagiannya lagi, ibunya harus membanting tulang mencuci pakaian dari rumah ke rumah disbuah kompleks perumahan. Upahnya, ia gunakan melunasi utangnya pada tetangga dan pemilik becak motor itu.
Kisah tentang Aco tak sudah-sudah. Seorang rekan saya mengisahkan wakil bupati di daerahnya bernama Aco pula. Aco yang satu ini konon adalah putra seorang pensiunan tentara berpangkat rendah. Ia menjadi murid sekolah dasar dibeberapa daerah—bergantung dimana sang ayah bertugas.
Saat SMP dan SMA, ia selesaikan dikampung halamannya. Lalu melanjutkan kuliah di sebuah kota. Saat berkuliah, ia aktif diberbagai organisasi. Lalu berinteraksi dengan sejumlah seniornya yang berkiprah di politik. Dengan cara ini, Aco mampu menyelesaikan kuliahnya. Sebab ia sadar, gaji pensiunan ayahnya tentu tak cukup, apalagi beberapa adiknya masih berstatus siswa pula.
Saat sarjana, beberapa kali ia mendaftar sebagai calon ASN, namun tak pernah lolos. Saat pemilu, ia mendaftar sebagai salah satu Caleg. Biaya politiknya, lebih banyak diraih dari donasi teman-temannya saat kuliah, juga dari sejumlah seniornya yang pengusaha dan politisi. Sepetak kebun milik ayahnya, dijual untuk mengongkosi Aco sebagai Caleg. Dan segala upaya itu berbuah hasil positif. Aco terpilih sebagai legislator dengan menduduki kursi terakhir di Dapilnya.
Aco lalu tumbuh menjadi politisi lincah, argumentatif, dan terampil. Dengan kesuksesan itu, pada momentum pilkada, Aco berikhtiar maju sebagai calon wakil Bupati. Ia berpasangan dengan seorang anak politisi—pengusaha tajir di daerahnya. Dengan modal pengalaman dan pasangan yang pas, Aco lalu terpilih sebagai wakil bupati di daerahnya. Ia mengalahkan pasangan politisi senior—birokrat.
Kemampuan Aco bergaul dan berinteraksi dengan semua kalangan salah satu kunci kemenangan Aco. Petani, pengusaha, politisi hingga anak-anak kampung ia sering sambangi. Apalagi, pembawaan Aco yang humoris tentu menjadi magnet khusus bagi semua kalangan. “Tapi namanya Aco juga cukup penting dalam mendongkrak popularitasnya. Simpel dan familiar bagi semua orang, bahkan termasuk anak-anak”, cerita rekan saya sore itu.
Pernah wartawan mewawancarai Aco tentang perihal namanya. “Tak banyak saya tahu tentang alasan orang tua saya memberi nama Aco. Tetapi ayah saya sekali waktu pernah bercerita bila nama Aco dipercayainya sebagai nama tradisi. Dari zaman dulu sekali hingga kini nama Aco tak pernah hilang ditengah maraknya orang-orang menamai putra-putranya dengan nama-nama artis”, katanya pada wartawan.
“Aco adalah nama yang mudah melengket dalam ingatan, tak ribet diucapkan lidah, dan nyaman melekat dihati orang-orang”, kata wakil bupati itu dengan tawa lepas dihadapan awak media.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News