Jumat, 27 Desember 2024 18:36

Demokrasi yang Buta, HAM untuk Semua? Perempuan Masih Bertarung Melawan Kekerasan Seksual

Editor : Redaksi
Nur Arifah, Kabid Keilmuan PC KPM-PM Cab. Polewali 2024-2025. @Jejakfakta/dok. Pribadi
Nur Arifah, Kabid Keilmuan PC KPM-PM Cab. Polewali 2024-2025. @Jejakfakta/dok. Pribadi

Kampus sebagai institusi yang seharusnya menjadi ruang aman.

Oleh; Nur Arifah, Kabid Keilmuan PC KPM-PM Cab. Polewali 2024-2025

Dalam demokrasi yang menjunjug tinggi hak asasi manusia (HAM), terdapat sebuah ironi yang menjadi sebuah fakta bahwa perempuan, pilar peradaban masih tidak merasakan bagaimana demokrasi dan HAM bagi mereka bekerja dengan setara.

Mengapa sampai saat ini perempuan masih saja terus bertarung dengan masalah kekerasan seksual. Terlepas dari beberapa masalah kebijakan pemerintah dan masalah ketimpangan terhadap perempuan tersebut demokrasi benar-benar tidak berjalan dengan yang kita harapkan.

Baca Juga : Empat Tahun Menghindar, Terduga Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Gowa Akhirnya Ditangkap

Kasus kekerasan seksual di beberapa kampus ternama di Sulawesi Selatan menjadi bukti nyata bahwa sistem yang ada belum mampu melindungi perempuan dari ancaman kekerasan.

Di Kampus A, seorang dosen diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, sementara di Kampus B, seorang dosen lainnya menghadapi tuduhan serupa. Respons institusi terhadap kasus ini sering kali dianggap tidak berpihak kepada korban.

Sanksi yang ringan, lambannya proses hukum, dan stigma sosial yang dialami korban mencerminkan kegagalan sistem kita dalam menegakkan keadilan. Demokrasi yang ideal seharusnya menjamin perlindungan hak asasi manusia, tetapi realitas ini menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan keadilan.

Baca Juga : Ahli Psikiatri: Korban Kekerasan Seksual di SLB Laniang Alami Trauma Seumur Hidup

Kekerasan seksual di lingkungan akademik menjadi bukti bahwa demokrasi kita belum sepenuhnya berhasil memberikan ruang yang aman dan setara bagi semua warga negara. Ataukah benar kecurigaan para filsuf seperti Plato selama ini? Menurut beliau, demokrasi bukanlah sistem yang ideal melainkan sebuah sistem politik yang memberi jalan bagi seorang Tirani untuk berkuasa.

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, melaporkan bahwa sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2024 (Kompas.com, 2024). Angka ini hanya menggambarkan sebagian dari realitas, mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan karena stigma, ketakutan, dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.

Korban kekerasan seksual tidak hanya berhadapan dengan pelaku, tetapi juga sistem yang abai. Minimnya dukungan hukum, lemahnya implementasi undang-undang, dan kurangnya kesadaran kolektif memperparah penderitaan mereka. Alih-alih menjadi pelindung, negara sering kali menjadi bagian dari masalah dengan menunda pengesahan kebijakan yang pro perempuan dan tidak memberikan akses keadilan yang memadai.

Baca Juga : Polisi Tangkap Guru Mengaji di Makassar yang Berbuat Asusila Terhadap Anak Didiknya, Ini Modusnya

Demokrasi menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Winston Churchill dengan jujur mengakui bahwa demokrasi sebenarnya bukanlah sistem pemerintahan yang sempurna, namun hingga kini belum ada sistem lain yang lebih baik daripadanya.

Baca Juga : Khalil Gibran Pelaku Rudapaksa Anak di Makassar, Ternyata Kecanduan Film Porno

Hak Asasi Manusia (HAM) juga menggarisbawahi bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan ancaman. Tetapi apakah HAM benar-benar menjadi dasar dalam demokrasi kita ataukah ia hanya menjadi jargon kosong? Ketika kekerasan seksual terus terjadi tanpa penanganan serius, sulit untuk mengatakan bahwa HAM telah menjadi prinsip yang nyata.

Demokrasi seharusnya mampu melindungi yang paling rentan, tetapi apa artinya kedaulatan rakyat jika sebagian rakyat terus dikecualikan dari perlindungan? Kampus sebagai institusi yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi lokasi di mana kekerasan seksual sering terjadi. Ketika hukum hanya ada di atas kertas, bagaimana kita bisa berharap demokrasi melindungi hak asasi manusia?

Kasus ini mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur seperti pemilu, tetapi tentang bagaimana kita memperlakukan kelompok rentan dan memastikan hak-hak mereka dilindungi. Jika demokrasi tidak bisa melindungi mereka, demokrasi itu sendiri yang harus dikoreksi. Maka, perjuangan perempuan bukan hanya perjuangan mereka sendiri, tetapi juga perjuangan kita semua sebagai bagian dari masyarakat yang menginginkan demokrasi sejati.

Baca Juga : LBH Makassar Sebut PGRI, Polri, hingga SLB Laniang Tidak Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual

Hanya dengan keberanian untuk terus mengkritisi dan memperbaiki sistem, kita bisa berharap bahwa demokrasi akan benar-benar menjadi alat untuk mewujudkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Kekerasan seksual
Youtube Jejakfakta.com