Adam Kurniawan
Inisiator Balang Institute/Publik Engangement WALHI Nasional
Jumat, 02 Mei 2025 11:04

May Day dan Ancaman Gelombang PHK Massal di Bantaeng

Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIP) Bantaeng dan Balang Institute melakukan aksi protes PHK) sepihak yang dilakukan oleh PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia. @Jejakfakta/Istimewa
Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIP) Bantaeng dan Balang Institute melakukan aksi protes PHK) sepihak yang dilakukan oleh PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia. @Jejakfakta/Istimewa

1 MEI biasanya dirayakan dengan semangat solidaritas di berbagai belahan dunia. Hari Buruh Internasional menjadi simbol perjuangan panjang kaum pekerja melawan sistem kerja yang eksploitatif dan ketimpangan ekonomi yang menindas. Tapi di Bantaeng, Sulawesi Selatan, May Day tahun ini diselimuti kabut ketidakpastian. Ratusan buruh smelter nikel telah kehilangan pekerjaan. Dan kabarnya, ratusan lainnya akan menyusul.

Di tengah laju produksi nikel yang tak pernah berhenti, di tengah kabut debu dari tungku-tungku smelter, ratusan buruh kini berhadapan dengan gelombang PHK massal. Sebuah kabar yang mengguncang tidak hanya dapur para pekerja, tapi juga struktur sosial desa-desa tempat mereka tinggal.

Jejak Panjang May Day: Dari Haymarket ke Bantaeng

Hari Buruh Internasional bukan sekadar tanggal merah. Ia lahir dari perjuangan keras. Akar sejarahnya bermula pada 1 Mei 1886, saat lebih dari 300.000 buruh di Amerika Serikat menggelar aksi besar-besaran menuntut jam kerja delapan jam per hari. Di Chicago, aksi ini memuncak dalam tragedi yang dikenal sebagai Kerusuhan Haymarket, ketika bom meledak di tengah demonstrasi damai. Polisi membalas dengan tembakan, aktivis buruh ditangkap, bahkan dihukum mati tanpa bukti kuat.

Tiga tahun kemudian, pada 1889, Kongres Buruh Internasional Kedua (Internationale Kedua) di Paris menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional, untuk mengenang keberanian para buruh Haymarket.

Di Indonesia, May Day punya sejarah yang tak kalah keras. Sejak masa kolonial, organisasi seperti Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sudah menyuarakan ketidakadilan sistem kerja. Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Nasional.

Namun segalanya berubah ketika Orde Baru berkuasa tahun 1966. Hari Buruh dianggap sebagai bagian dari ideologi komunis. Peringatannya dilarang, serikat buruh independen dibubarkan, dan suara pekerja dikendalikan negara. Setelah Reformasi 1998 suara buruh kembali bergema. Pada 2013, Presiden SBY menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional.

Kini, Hari Buruh kembali menjadi panggung. Bukan hanya untuk mengenang sejarah, tapi untuk menyuarakan ketidakadilan yang masih hidup hingga hari ini, seperti yang terjadi di Bantaeng.

Kawasan Industri Bantaeng pernah dipuji sebagai wajah baru pembangunan daerah. Smelter nikel berdiri megah, menyerap ribuan tenaga kerja, dan memicu geliat ekonomi. Tapi sejak akhir 2024, awan gelap mulai menggantung. Perusahaan smelter mulai melakukan PHK terhadap puluhan buruh, dan informasi internal menyebut angka ini bisa menyentuh 30?ri 2.000 lebih pekerja yang ada.

“Ini bukan cuma soal diberhentikan. Ini soal hidup keluarga, soal keberlanjutan ekonomi desa,” ujar Junaid Judda, Ketua SBIPE-KIBA (Serikat Buruh Industri Pengolahan dan Energi Kawasan Industri Bantaeng).

Mendengarkan dan Mencatat Cerita Buruh

Setiap hari, sejak kabar gelombang PHK mulai berembus dari KIBA, satu per satu buruh datang ke Posko Perlindungan Pekerja KIBA yang diinisiasi SBIPE, LBH Makassar & Balang Insititute. Ada yang datang dengan raut bingung, ada yang membawa surat pemutusan hubungan kerja, ada pula yang hanya membawa harapan, agar tidak dilupakan begitu saja.

Di posko itulah, para buruh yang terkena PHK mulai menata langkah perlawanan, mengumpulkan data, bukti, dan merangkai cerita, lalu menyusunnya menjadi kekuatan hukum dan moral untuk menuntut hak-hak mereka yang terabaikan.

“Posko ini bukan sekadar tempat mengadu. Di sini kami membangun ulang kepercayaan diri kawan-kawan buruh yang sudah dihancurkan sistem,” ujar Junaid Judda, Ketua SBIPE-KIBA.

Hingga akhir April 2025, sedikitnya 50 buruh telah melapor ke posko. Setiap laporan diterima dengan telinga terbuka. Para relawan dari SBIPE, LBH Makassar, dan Balang Institute mencatat secara rinci: kapan PHK dilakukan, apakah ada surat resmi, berapa lama masa kerja, apakah ada upah lembur yang belum dibayarkan.

Di sinilah peran penting posko terlihat. Para pendamping hukum membantu buruh untuk mulai menyusun berkas bukti, termasuk:

  • Rekening Koran
  • Rekapitulasi jam lembur
  • Slip gaji beberapa bulan terakhir
  • Kontrak kerja (jika ada)
  • Tangkapan layar komunikasi dari atasan

Setelah data terkumpul, tim pendamping di posko mulai melakukan perhitungan. Bukan sembarangan. Mereka menghitung dengan teliti kekurangan upah lembur yang dalam banyak kasus selama ini dianggap "hal biasa" oleh perusahaan.

“Seorang buruh bisa saja lembur 4 jam setiap hari, dan itu berlangsung sepanjang tahun. Itu bukan angka kecil,” jelas Ridho, salah satu paralegal di posko. “Kalau dihitung sesuai ketentuan, nilainya bisa jutaan rupiah perbulan untuk setiap orang.”

Kalkulasi ini penting. Sebab saat proses perundingan berlangsung, angka-angka inilah yang akan jadi senjata. Buruh datang bukan dengan emosi, tapi dengan data dan hitungan yang sah secara hukum.

Tak cukup berhenti di meja posko, SBIPE dan para buruh juga melangkah ke ruang-ruang kebijakan. Mereka menggelar audiensi dengan DPRD Kabupaten Bantaeng, membawa serta testimoni buruh dan data yang telah dikumpulkan.

“PHK massal ini bukan cuma soal hubungan kerja, ini soal ekonomi rakyat. DPRD tidak boleh diam,” tegas Junaid di hadapan para wakil rakyat.

Dalam audiensi itu, buruh menyampaikan keprihatinan dan tuntutan: agar DPRD membentuk tim pemantau khusus konflik ketenagakerjaan, dan mendorong pemerintah daerah segera mengambil langkah-langkah mitigasi, mencegah gelombang PHK terus berlanjut.

Selain aksi lapangan dan mempersiapkan jalur hukum, SBIPE dan jaringan pendukung juga aktif melakukan kampanye di media lokal dan nasional. Mereka menulis siaran pers, menghadirkan buruh sebagai narasumber, dan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan fakta-fakta tentang gelombang PHK dan pelanggaran hak yang terjadi.

“Kami sadar, kalau hanya diam di posko, suara kami akan tenggelam,” ujar Ridho. “Media adalah alat perjuangan hari ini.”

Beberapa portal berita lokal sudah mulai mengangkat kisah ini. Bahkan beberapa jurnalis telah mewawancarai perwakilan SBIPE. Kampanye ini penting, bukan hanya untuk memberi tekanan ke perusahaan, tapi juga untuk membangun simpati publik dan memperluas dukungan.

Ketika perusahaan akhirnya membuka ruang dialog, SBIPE mendampingi buruh korban PHK dengan membawa tim hukum dari LBH Makassar. Pertemuan bipartit dan tripartit telah digelar. Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng menjadi mediator.

Sampai saat ini semua berjalan sesuai rencana. Perusahaan masih melakukan validasi hitungan lembur versi serikat, mereka berkomitmen akan membayar pesangon penuh dan seluruh kekurangan upah lembur.

Jika hal yang tak diinginkan terjadi, misalnya perundingan menemui jalan buntu, maka jalan hukum jadi pilihan tak terhindarkan. SBIPE menyatakan siap maju ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan membawa bukti lengkap dan saksi-saksi dari posko.

Solidaritas yang Tak Akan Padam

Buruh-buruh yang selama ini dianggap sebagai angka produksi kini menunjukkan wajah lain: sebagai manusia yang sadar haknya, berani bersuara, dan saling menguatkan. Dari posko kecil itu, perlawanan yang bermartabat sedang tumbuh.

Di Hari Buruh tahun ini, mereka akan turun ke jalan tidak dengan teriak kosong. Mereka mengorganisir diri, menganalisa data, berdiskusi, dan merancang strategi hukum. Mereka menulis sejarah kecil dari Bantaeng, sejarah tentang buruh yang tidak diam saat dikhianati.

May Day bukan hanya peringatan. Di tangan buruh KIBA yang di-PHK, ia menjadi panggung perlawanan dan harapan. (*)