Kehicap Ranting, Mati di Dekat Sumur Tua

Di Papan Loe, sebuah desa yang nyaris seluruh wilayahnya telah ditetapkan sebagai Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), terdapat sebuah sumur tua yang dinamai “Bungung Rua”. Dahulu, saat musim kemarau panjang tiba, Bungung Rua menjadi satu-satunya sumber air bagi warga sekitar.
Sebelum pemerintah meluncurkan program Pamsimas dan menyediakan sumur bor sebagai sumber air bersih untuk warga, hanya sedikit sumber air yang tersedia di Papan Loe, salah satunya adalah Bungung Rua. Sumur tua ini terletak di pinggir sungai kecil, dekat pohon beringin besar. Dari sana, air diangkut ember demi ember pada musim kemarau panjang.
Kini, Bungung Rua abadi bukan hanya sebagai sumur, tetapi juga sebagai nama salah satu dusun di Desa Papan Loe. Sebuah penghormatan diam-diam dari masyarakat terhadap sumber kehidupan yang telah menemani mereka melewati masa-masa sulit.
Demikianlah Pak Haris menceritakan kepada saya dan Edy tentang sumur legendaris Bungung Rua.
Karena penasaran, kami meminta Pak Haris untuk menemani kami ke sumur tersebut. Beliau memimpin kami menyusuri jalan setapak yang berkelok dan berbatu. Setibanya di sana, kami melihat sumur yang telah dibeton dengan empat tiang kokoh penyangga atap di atasnya. Seperti yang diceritakan Pak Haris, sumur ini terletak di pinggir sungai kecil, dekat pohon beringin yang rindang.
Banyak warga percaya bahwa air dari Bungung Rua memiliki khasiat menyembuhkan. Kadang-kadang, di bawah pohon beringin, tampak sisa-sisa sesajen: bunga, sirih, atau sejumput beras—tanda doa dan harapan yang dipanjatkan oleh mereka yang datang mencari kesembuhan atau kekuatan.
Kini, meskipun program Pamsimas dan sumur bor telah menyediakan air bersih yang dialirkan langsung ke rumah-rumah warga melalui pipa, air dari Bungung Rua tetap menjadi simbol harapan dan bagian penting dari tradisi masyarakat setempat.
Saat kami menjelajahi sungai di dekat sumur, tiba-tiba keheningan pecah. Kawanan burung terbang berhamburan. Di antara mereka, seekor burung kecil berwarna biru tampak kesulitan terbang. Burung itu melompat pelan dari satu ranting ke ranting lain, hingga akhirnya jatuh dan menggelepar di tanah. Saya memungutnya dengan hati-hati dan memberikannya kepada Pak Haris.
"Apa nama burung ini, Pak? Dan kira-kira kenapa burung ini mati?" tanyaku.
Pak Haris mengamati burung tersebut dengan saksama. "Saya tidak tahu namanya. Warga di sini hanya menyebutnya Dongi," ujarnya.
"Soal kenapa burung ini mati, saya tidak bisa bilang dengan pasti. Tapi bisa jadi keracunan. Tadi saya lihat ada petani mencuci pompa racunnya di cekungan yang masih menyimpan sisa-sisa air sungai. Kalau airnya tercemar pestisida, mungkin saja burung ini meminumnya."
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Tapi kalau memang karena racun, seharusnya ada lebih banyak burung atau hewan kecil lain yang ikut mati di sekitar sini. Entahlah. Sekarang ini musim kemarau, dan sisa-sisa air di sungai ini jadi satu-satunya tempat minum bagi hewan-hewan liar. Kalau sumber air ini tercemar, bisa berbahaya untuk semuanya."
Saya lalu mengangkat ponsel dan memotret burung kecil di tangan Pak Haris. Ingin tahu lebih banyak, saya membuka Google Lens dan mencoba mengidentifikasinya. Hasil pencarian menunjukkan bahwa burung itu adalah Kehicap Ranting, seekor burung berukuran sedang, panjangnya sekitar 16 sentimeter.
Burung ini memiliki bulu biru tua yang mencolok di bagian kepala, leher, sayap, dan ekornya, sementara bagian perut hingga tunggirnya berwarna putih bersih. Kehicap ranting rupanya tidak hanya ditemukan di Indonesia, tapi juga tersebar di India, Thailand, Vietnam, Tiongkok, Sri Lanka, Filipina, hingga Malaysia. Mereka biasanya hidup di berbagai jenis hutan, mulai dari dataran rendah hingga perbukitan.
Dalam perjalanan pulang meninggalkan sumur, Pak Haris bercerita tentang mimpinya: suatu hari nanti, murid-murid sekolah di kampung ini bisa belajar langsung dari alam sekitar—dari tanah, sungai, tumbuhan, hingga burung-burung yang hidup di Papan Loe. Mereka juga bisa mempelajari mengapa Bungung Rua tetap memiliki air di saat sumber air lain mengering karena kemarau. Harapan Pak Haris mencerminkan kesadaran akan pentingnya pendidikan lingkungan dan perlindungan alam sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Dulu, sebelum ada Pamsimas, warga harus berjalan jauh hanya untuk mendapatkan air dari sumur tua itu,” kata Pak Haris. “Bungung Rua adalah penyelamat di saat-saat sulit. Airnya selalu ada, bahkan ketika sumber lain mengering.”
“Pak Haris, apa yang membuat Bungung Rua begitu istimewa?” tanyaku.
"Selain airnya yang dianggap berkhasiat, Bungung Rua adalah simbol kebersamaan dan harapan bagi warga desa," jawab Pak Haris. "Di sini, kita belajar untuk berbagi dan saling membantu. Saat ada yang sakit, mereka datang ke sini dengan harapan bisa sembuh. Dan ketika air dari sumur ini menyelamatkan hidup mereka, mereka memberikan sesajen sebagai tanda syukur."
Cerita Pak Haris membuat saya merenung betapa pentingnya menjaga tradisi dan kepercayaan lokal, tanpa menutup diri dari kemajuan. Program Pamsimas dan sumur bor memang telah membawa perubahan besar, memberikan akses air bersih yang lebih mudah dan sehat bagi warga. Namun, Bungung Rua tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah kampung. Tradisi dan kepercayaan lokal tetap hidup, memberi makna lebih dalam tentang bagaimana manusia terhubung dengan alam dan sesama.
Saat kami melanjutkan perjalanan pulang, bayangan burung kehicap ranting yang mati terus menggoda benakku. Apakah benar pestisida penyebab kematiannya? Ataukah ada faktor lain? Pertanyaan-pertanyaan ini tak mudah dijawab, tapi menyisakan satu hal penting: bahwa alam berbicara, dan tugas kitalah untuk belajar mendengarkannya. Bukan hanya demi burung-burung kecil itu, tapi juga demi anak-anak Papan Loe yang kelak akan bertanya, bagaimana cara menjaga kampung ini tetap hidup?
Tiba di rumah Pak Haris, kami disuguhkan seteko air putih dan gelas-gelas kopi.
“Saya ingin anak-anak di desa ini mengenal sejarah dan budaya kampungnya,” Pak Haris melanjutkan ceritanya. “Mereka harus tahu dari mana mereka berasal, dan bagaimana para pendahulu berjuang untuk bertahan hidup. Dari situ, mereka akan lebih menghargai alam dan lingkungan sekitar.”
Kawan saya, Edy, yang sejak tadi lebih banyak menyimak, kini mulai bercerita. Ia mengisahkan program-program pendidikan yang sedang dijalankannya, termasuk kelas-kelas konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Edy juga berbagi pengalamannya dalam memberi pelatihan kepada guru dan siswa agar lebih peduli terhadap lingkungan.
“Selain belajar dari buku, siswa perlu sering-sering diajak ke lapangan,” ujarnya. “Mereka harus belajar mengenali tanaman, memahami ekosistem sungai, dan mengamati burung-burung yang ada di sekitarnya. Anak-anak harus bisa belajar langsung dari alam.”
Percakapan kami mengalir hingga matahari mulai tenggelam di balik perbukitan. Cahaya senja menyinari Papan Loe dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung kembali ke sarang, suara jangkrik mulai menggantikan kicauan sore. Kami berpamitan kepada Pak Haris dan keluarganya, dengan janji suatu hari nanti akan kembali, untuk melihat perkembangan desa, anak-anak sekolah, dan mungkin, Bungung Rua.
Musim kemarau masih menggigit, dan kehidupan di Papan Loe terus berdenyut. Bungung Rua, dengan kisahnya sebagai penyelamat di masa lalu, tetap ada. Tapi mungkin tidak lama lagi. Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) terus meluas, menyisihkan ruang hidup warga dan alam yang dulu menjadi tempat berteduh dan berharap.
Di tengah bayang-bayang kawasan industri yang perlahan membungkus desa ini, Bungung Rua hadir sebagai ingatan warga, sebagai pengingat: bahwa air, sejarah, dan keyakinan adalah hal-hal yang tak bisa digantikan.
Pak Haris mungkin belum sepenuhnya menyadari: ancaman terhadap kepercayaan lokal dan lingkungan bukan datang dari anak-anak muda yang lupa tradisi. Ancaman sesungguhnya datang dari kebijakan yang menghapus jejak kampungnya dari peta kehidupan, menggantikannya dengan pabrik-pabrik dan jalan-jalan logistik.
Dan jika suatu hari nanti Bungung Rua tinggal kenangan, bersama rindang beringin dan air yang memberi harapan, maka kita harus bertanya: apakah pembangunan layak disebut kemajuan jika yang dikorbankan adalah akar yang membuat sebuah desa tetap hidup?