Jumat, 10 Maret 2023 06:01

Story

Kadang-kadang Persepsi adalah Perangkap

Endang Sholih (83) tukang bubur ayam Uwa Bubur di Bandung yang pernah viral. Endang penjual bubur yang langka karena dia tidak mematok harga untuk siapa saja pembeli. Bayar seikhlasnya. [Foto dalam tribunwow, Rabu 6/12/2017]
Endang Sholih (83) tukang bubur ayam Uwa Bubur di Bandung yang pernah viral. Endang penjual bubur yang langka karena dia tidak mematok harga untuk siapa saja pembeli. Bayar seikhlasnya. [Foto dalam tribunwow, Rabu 6/12/2017]

Tafsir kita terhadap sesuatu sering keliru.

Suatu hari di tahun 2008 saya pulang ke rumah orangtua di Bandung setelah menyelesaikan kuliah di Jogja. Dengan intelektualisme dan kepongahan khas seorang sarjana muda, saya memandang nyinyir seorang penjual bubur ayam yang biasa mangkal kira-kira 150 meter dari rumah orangtua saya. Pasalnya, tukang bubur ayam itu sudah berjualan di sana sejak saya SD! Sejak saya membeli bubur ayamnya dengan harga Rp300 hingga ketiga itu Rp3.000.

"Tukang bubur ayam itu nggak maju-maju, ya!?" Protes saya dengan nada agak meremehkan. "Coba dia berpikir sedikit, mungkin dia sudah menjadi sesuatu yang 'lebih' sekarang."

Suatu ketika saya berkesempatan membeli bubur ayamnya lagi. Saya berjalan dengan langkah tegap yang sombong. Saya membeli bubur ayam dan menyerahkan uang Rp5.000. "Buburnya tiga ribu, yang dua ribu tambahin aja ayam dan bumbunya!" ujar saya. Sang penjual bubur mengangguk perlahan, lalu dengan cekatan menyiapkan pesanan saya.

Baca Juga : Peter Gardenfors: Intuisi bukanlah Sesuatu yang Ajaib

Sambil memerhatikannya, hati saya masih terus bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran Bapak ini sehingga dia tak mau mengerjakan hal lain yang lebih bisa membuatnya sejahtera? Kok susah banget move on dan tetap jadi penjual bubur ayam selama bertahun-tahun?

Pesanan saya akhirnya selesai. Di sanalah saya memberanikan diri untuk bertanya, "Dari saya SD, Bapak masih aja jualan bubur. Nggak bosen, Pak? Saya berusaha menanyakannya sambil bercanda. Takut membuatnya tersinggung.

Tak disangka, jawaban pedagang bubur itu begitu menyentakkan saya. Dia mengawalinya dengan senyuman, "Usaha mah ngeureuhyeuh weh," jawabnya dalam bahasa Sunda. Ikhtiar itu yang penting dilakukan, meski pelan yang penting konsisten. Begitu kira-kira terjemahannya.

"Tapi, kan harus ada kemajuan?" kejar saya.

"Diam di tempat juga bukan berarti tidak maju," jawabnya lagi. Masih dengan bahasa Sunda. Cicing oge' sanes teu maju-maju.

Saya mengernyitkan dahi. Masih bingung dengan semuanya sebelum penjual bubur itu menjelaskan lebih jauh lagi.

"Katingalina weh dagang bubur di deu-di dieu wae---,"katanya, kelihatannya saja jualan bubur di sini di sini saja,"---tapi rezeki sudah diatur oleh Allah jika kita terus berusaha. Alhamdulillah rumah sudah ada dua, yang satu dikontrakkan. Anak saya dua-duanya kuliah dengan biaya sendiri. Sekarang mah lagi nabung pengen naik haji," lanjutnya santai.

Saya terdiam.

Sejak saat itu, ada yang hancur dalam diri saya: kesombongan. Ada yang meleleh dalam kepala saya: keangkuhan.

Sejak saat itu saya bertaubat untuk tak lagi memandang orang sebelah mata, tak lagi menilai orang dari apa yang saya lihat sekadar permukaannya.

Demikianlah, kadang-kadang, persepsi adalah sebuah perangkap. Dan tafsir kita terhadap sesuatu sering keliru.

Fahd Pahdepie (2019: 109-111)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Fahd Pahdepie #Persepsi #Story Jejak Fakta #Cerita Inspiratif
Youtube Jejakfakta.com