Sabtu, 08 Juni 2024 21:05

Polres Luwu Timur Bantah Dugaan Rekayasa Fakta Dalam Kasus Dugaan Kekerasan Seksual di Sorowako

Editor : Redaksi
Penulis : Samsir
Ilustrasi kekerasan seksual.
Ilustrasi kekerasan seksual.

Penyidik menunggu hasil pemeriksaan berkas yang dilakukan JPU atau hasil status P-21.

Jejakfakta.com, Makassar -- Kepolisian Polres Luwu Timur membantah adanya dugaan rekayasa fakta dan menyerahkan semuanya ke Itswada Polda Sulsel atas laporan yang dilayangkan keluarga korban melalui Tim Penasihat Hukum dalam dugaan pelanggaran etik atas penyelidikan dan penyidikkan laporan dugaan kekerasan seksual yang dimasukkan pada 16 November 2023 lalu.

"Terkait laporan LBH itu ditangani Itwasda Polda Sulsel," kata Kasi Humas Polres Luwu Muhammad Taufik saat dikonfirmasi Jejakfakta.com, Sabtu (8/6/2024).

Muhammad Taufik menyatakan bahwa pihaknya telah menyelesaikan semua berkas permintaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah dikirim kembali sebelumnya. Dan saat ini, kata Dia, pihaknya menunggu hasil pemeriksaan berkas yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum atau hasil status P-21.

Baca Juga : 2.000 Situs Judi Online Direkomendasikan Polda Sulsel untuk Diblokir

"Semua alat bukti telah dituangkan penyidik dalam berkas perkara yang kini telah dipenuhi P-19 dari JPU dan sudah dikirim kembali. Saat ini Kami menunggu P-21 dari JPU. Update perkara ini akan kami infokan lagi nanti," jelasnya

Sebelumnya, keluarga korban melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar melaporkan penyidik PPA Polres Luwu Timur ke Itswada Polda Sulsel pada Jumat (7/6/2024) atas dugaan pelanggaran etik pada penyelidikan dan penyidikkan pada kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Soroako Luwu Timur yang dilaporkan pada 16 November 2023 lalu.

Dalam keterangan persnya, laporan ini didasarkan pada hasil temuan Tim Penasehat Hukum korban yang menilai dalam proses penyidikan perkara tersebut telah terjadi pengaburan dan rekayasa fakta.

Baca Juga : Waspada! 6 Merek Skincare Mengandung Bahan Berbahaya Beredar di Sulsel

Dugaan rekayasa fakta tersebut terjadi pada adanya uang sebesar Rp. 200.000 yang diklaim oleh penyidik PPA Polres Lutim sebagai barang bukti.

“Diketahui, uang tersebut diambil dari kantong jaket korban, saat korban dirawat di Rumah Sakit Inco. Sisanya ditambah oleh saksi (paman korban) atas permintaan anggota UPTD PPA Lutim,” jelas Mirayati Amin, Tim Penasihat Hukum korban dari LBH Makassar.

"Belakangan diketahui uang tersebut dirilis oleh Polres Lutim dan diklaim sebagai barang bukti hasil tindak pidana persetubuhan, kesepakatan korban dan pelaku."

Baca Juga : Polda Sulsel Ungkap Kasus Judi Online, Modus Endorsement Hingga Jual Beli Chip

Laporan Polisi Korban yang diajukan Tim Penasihat Hukum korban Nomor: LP/B/87/XI/RES.1.24/2023/Reskrim, tanggal 16 November 2023. "Penyidik dengan serta merta menyimpulkan tanpa menggali fakta lebih dalam," ungkap Mira.

Menurut Mira, narasi ini kemudian berdampak pada kaburnya fakta kekerasan dan pemaksaan berhubungan seksual yang dialami korban. Dengan, adanya klaim barang bukti berupa uang, maka seolah-olah peristiwa yang dialami korban bukanlah tindak pidana kekerasan seksual, melainkan tindak pidana perzinahan yang bersifat transaksional.

Sehingga, kata Mira secara langsung atau tidak, penyidik Polres Lutim menciptakan peluang atau cela bagi pelaku untuk lepas dari jeratan pasal yang disangkakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf h, UU TPKS dengan ancaman 16 tahun kurungan penjara.

Baca Juga : Polda Sulsel Ungkap Dugaan Korupsi Dana Hibah Pembangunan Masjid Nurul Zikir di Makassar

Dugaan pengaburan fakta oleh penyidik Unit PPA Polres Lutim, tidak hanya melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf c dan Pasal 10 ayat (1) huruf Perkap 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik dan Komisi Etik Polri, tetapi akan berdampak pula nantinya pada proporsionalitas pertanggungjawaban hukum oleh terduga pelaku dan ini akan mencederai rasa keadilan, khususnya rasa keadilan korban,” lanjut Mira.

Atas situasi tersebut, Tim Penasihat Hukum korban kemudian melakukan upaya keberatan dan aksi demonstrasi oleh pihak keluarga korban. Pada, Februari 2024 terjadi perubahan nominal uang dalam surat berita acara penyerahan barang bukti, sebesar Rp. 100.000, perubahan ini tentu menjadi indikasi kuat adanya kesalahan penyusunan barang bukti sebelumnya.

Tim Penasehat Hukum berharap Satker Irwasda Polda Sulsel dapat bertindak tegas serta professional dan akuntabel menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik yang diadukan.

Baca Juga : Komisi III Kunjungan ke Sulsel, Pastikan Pilkada Serentak 2024 Berjalan Aman dan Lancar

“Kami sangat berharap laporan dugaan pelanggaran etik ini ditindaklanjuti secara akuntabel. Selain itu, kami meminta Polda Sulsel memberi atensi terhadap kasus ini. Penindakan tegas terhadap laporan ini juga akan berkaitan dengan citra kepolisian,” ujar Siti Nur Alisa.

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Kepolisian merupakan institusi penegak hukum yang berada di hulu, yang menjadi pintu utama penegakan hukum dan akan berpengaruh pada proses – proses selanjutnya.

Sebagai pintu utama untuk memperoleh keadilan, maka aparatnya berkewajiban untuk bekerja secara profesional, berintegritas dan akuntabel serta transparan.

“Pengaduan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan, selain demi tercapainya keadilan bagi korban, kami juga berkepentingan pada terwujudnya Institusi Kepolisian sebagai penegak hukum yang berintegritas, transparan serta akuntabel, serta menghormati prinsip Hak Asasi Manusia, sesuai amanat Perkapolri No.8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara RI,” tutup Siti Nur Alisa.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Polres Luwu Timur #rekayasa fakta #Polda Sulsel #Kekerasan seksual #LBH Makassar
Youtube Jejakfakta.com