Pemanasan global dan perubahan iklim mengakibatkan salju abadi yang sisa sedikit di sekitar Gunung Puncak Jaya, Papua terancam habis alias hilang pada 2026 mendatang.
Masyarakat Adat Suku Moni yang berdiam di Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Maximus Tipagau (39) pun, mengenang salju yang memenuhi memorinya sejak kecil.
“Salju ini bisa kami rasakan di kampung. Dinginnya saya bisa merasakan sampai hari ini. Setiap hari itu kami menikmati hujan es,” ungkap Maximus dikutip dari laman BBC, Minggu (17/12).
Baca Juga : Kasus Kematian dr. Mawar Janggal, dr. Hendra Mengaku Pihak Keluarga Korban Temukan Luka Lebam
Dari sekian banyak puncak, ada satu puncak sakral yang dinamai masyarakat adat Moni sebagai Gunung Somatua. Somatua dipercaya menjadi penerang dan cahaya bagi mereka. Somatua berasal dari bahasa setempat yang berarti terang sepanjang siang dan malam.
“Kalau siang dari cahaya matahari, kalau malam dari (pancaran) es. Kalau es hilang, maka cahaya akan hilang,” ujar Maximus serta masyarakat adat Suku Moni lainnya adalah satu dari beberapa suku yang tinggal di daerah pegunungan di Papua Tengah.
Kampungnya, Ugimba, adalah desa tertinggi di Indonesia yang berada di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Baca Juga : IOH Salurkan Bantuan untuk Korban Gempa dan Pastikan Jaringan Aman
Ugimba berada di sekitar tiga puncak bersalju di Papua yang merupakan puncak tertinggi antara Gunung Himalaya dan Pegunungan Andes. Ketiganya yakni Puncak Carstensz (4.884 mdpl), Puncak Sumantri (4.808 mdpl) dan Puncak Ngga Pulu atau Soekarno (4.862 mdpl).
Jika ditarik garis lurus dari Ugimba ke Carstensz, jarak keduanya yakni 36 kilometer. Meski demikian, jalur pendakian bisa jauh lebih panjang dari angka tersebut.
Pada awal abad 20, saintis memetakan tutupan atau lapisan es yang disebut gletser di kawasan pegunungan ini. Setidaknya, terdapat tujuh puncak bersalju, yakni East Northwall Firn, West Northwall Firn, Meren, Carstensz, Wollaston, Van de Water, dan Southwall Hanging.
Baca Juga : Komite Keselamatan Jurnalis Desak Polisi Segera Temukan Pelaku Teror Bom
Namun, karena perubahan suhu dan iklim, kini salju yang ditemukan hanyalah East Northwall Firn, West Northwall Firn, dan Carstensz.
Citra satelit di bawah menunjukkan perubahan yang drastis pada tiga periode berbeda.
Menilik ke belakang, pada 1850, luas area bersalju di sekitar Puncak Jaya sekitar 19 km2 atau seluas Bandara Soekarno Hatta di Tangerang. Hampir satu abad kemudian, menyusut menjadi 13 km2 atau dua kali luas Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat.
Baca Juga : Polisi Dalami Motif Ledakan Dekat Rumah Jurnalis di Papua
Pengurangan es terjadi akibat kenaikan suhu 0,6°C sejak tahun 1850 hingga pertengahan abad 20.
Dalam kurun waktu hampir enam dekade setelahnya, es berkurang drastis menjadi 3 km persegi.
Pada 2005, salju di pegunungan tropis Indonesia tinggal seluas 1,8 km persegi. Kini, kenaikan suhu yang kini mencapai 0,85°C per tahun mempercepat salju untuk mencair.
Baca Juga : Fenomena Air Laut Berwarna Hijau di Selayar, Ini Penjelasan Ahli Biologi Kelautan
“Es ini besar dan banyak, putih warnanya. Biasanya warna putih memantulkan sinar matahari, jadi panas yang diserap es sedikit. Ketika es mengecil, lokasi sekitar berwarna lebih gelap, batuan di sekeliling es akan menyerap sinar matahari. Es akan habis tidak hanya dari suhu di atas tapi di permukaan,” ujar Donaldi Permana, Peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan dari hasil riset BMKG gletser atau bongkahan es di Puncak Jayawijaya diperkirakan akan punah atau mencair pada tahun 2025-2026.
Bahkan dikatakan saat ini gletser di puncak Jayawijaya tinggal 2 km persegi atau 1% saja dari luas awal sekitar 200 km persegi.
“Gletser di Puncak Jayawijaya berdasarkan hasil riset BMKG saat ini tinggal kurang lebih 2 km persegi atau 1% dari luas awalnya sekitar 200 km persegi. BMKG juga memprediksi gletser tersebut akan punah, mencair di sekitar tahun 2025-2026,” kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan, kenaikan muka air laut global termonitor pula mencapai 4,4 mm per tahun pada periode 2010-2015, lebih tinggi lajunya jika dibandingkan periode sebelum 1990-an yaitu sebesar 1,2 mm per tahun.
“Periode ulang anomali iklim El Nino dan La Nina juga semakin pendek dari 5 hingga 7 tahun pada periode 1950-1980 menjadi hanya 2 hingga 3 tahun selama pasca periode 1980 hingga saat ini,” jelas Dwikorita.
Seluruh fenomena tersebut, akan berakibat pada semakin meningkatnya frekuensi intensitas dan durasi cuaca ekstrem. “Itulah sebabnya kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir longsor banjir bandang badai tropis puting beliung dan kekeringan semakin meningkat frekuensi intensitas durasi dan kejadiannya,” tukasnya. (LN)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News