Kamis, 13 Maret 2025 21:33

Ramadan: Budaya Konsumerisme dan Krisis Ekologis

Editor : Redaksi
Suaib Prawono, Korwil GUSDURian Sulampapua. @Jejakfakta/dok. Pribadi
Suaib Prawono, Korwil GUSDURian Sulampapua. @Jejakfakta/dok. Pribadi

Di era modern, konsumsi tidak lagi dilandasi oleh kebutuhan, melainkan lebih pada pemenuhan hasrat dan pencitraan diri.

Penulis: Suaib Prawono (Korwil GUSDURian Sulampapua)

Ramadan kembali hadir, membawa gelombang suka cita yang menyelimuti seluruh penjuru nusantara. Kemeriahannya begitu terasa saat dentuman beduk di malam tarawih pertama hingga semarak kegembiraan berburu penganan berbuka puasa yang penuh kelezatan.

Namun, di balik kemeriahan itu, Ramadan juga membawa pesan mulia untuk direnungkan. Tahun ini, refleksi kita mendapatkan dimensi baru, karena dunia tengah menghadapi tantangan besar berupa perubahan iklim. Suhu bumi terus meningkat melampaui ambang kritis 1,5°C dan memberi dampak signifikan yang tak bisa diabaikan.

Baca Juga : Melinda Aksa Apresiasi PT Bosowa Energi Dukung Program Makan Bergizi Gratis

Krisis iklim tidak hanya berdampak pada perubahan pola cuaca dan kenaikan permukaan laut karena mencairnya lapisan es, tetapi juga berpotensi menciptakan krisis pangan, gangguan ekonomi dan kesehatan (fisik maupun mental). Sementara itu, kenaikan permukaan laut, berpotensi memaksa masyarakat pesisir untuk mengungsi, menciptakan tekanan sosial dan ekonomi yang signifikan.

Dalam konteks Indonesia, masalah lingkungan menjadi isu yang mendesak. Dari sepuluh masalah terbesar lingkungan di negeri ini, sampah menjadi penyumbang terbesar, mencapai 40%. Ironisnya, selama Ramadan; bulan yang seharusnya mengajarkan pengendalian diri, justru volume sampah mengalami peningkatan hingga 20% dan sebagian besar sampah tersebut berasal dari sisa makanan dan kemasan plastik.

Fenomena ini memunculkan refleksi mendalam: apakah kita benar-benar berpuasa, menahan lapar dan dahaga, atau hanya sekadar memindahkan jadwal makan? Faktanya, timbunan sampah selama Ramadan terus meningkat, bahkan Indonesia disebut sebagai penghasil sampah makanan tertinggi di Asia Tenggara, dengan jumlah mencapai 20,93 juta ton per tahun.

Baca Juga : Pasar Padat Jelang Idulfitri, Warga Diimbau Waspada Pencopet

Data yang dilansir dari berbagai sumber tersebut, tentu saja menarik untuk direfleksikan, mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam yang rutin menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya. Namun, justru di bulan suci ini, kesadaran akan tanggung jawab lingkungan seolah berbanding terbalik dengan nilai-nilai spiritual yang seharusnya diterapkan.

Budaya Konsumerisme

Paradoks keberagamaan di atas membawa kita pada pemahaman yang menyedihkan, budaya konsumerisme tampaknya tidak mampu membendung hasrat duniawi manusia beragama, sekalipun mereka sedang menjalankan ritual menahan diri. Fenomena ini, tanpa disadari, telah menjadi gaya hidup dan menjadi akar permasalahan krisis ekologi di era modern.

Baca Juga : Purna Praja STPDN 03 Sulselbar Gelar Buka Puasa Bersama dengan Kaum Dhuafa

Di era modern, konsumsi tidak lagi dilandasi oleh kebutuhan, melainkan lebih pada pemenuhan hasrat dan pencitraan diri. Ketidakmampuan mengenali serta mengendalikan hasrat ini akan berujung pada bencana sosial dan ekologi yang tentunya berpotensi mengancam keberlanjutan hidup manusia.

Seiring kemajuan teknologi, budaya konsumerisme telah merasuk begitu kuat dalam sistem sosial masyarakat kita. Pemenuhan hasrat tersebut telah menghasilkan timbunan sampah yang mencemari lingkungan. Ironisnya, Ramadan yang seharusnya menjadi momen pengendalian diri justru memperlihatkan wajah lain dari pola konsumsi berlebihan ini.

Mahatma Gandhi pernah berpesan, "Alam ini mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia, tetapi tidak dengan keserakahannya." Sayangnya, kerakusan itulah yang kini menjadi beban bagi alam. Menurut laporan Global Footprint Network (GFN), gaya hidup manusia saat ini membutuhkan 1,7 planet bumi untuk menopang kebutuhan konsumsi yang tidak berkesudahan, dan tentu saja hal ini tidak mungkin terjadi.

Baca Juga : 500 Porsi Paket Iftar Implementasi Bosowa Peduli Kini Tiba di Gaza Palestina

Kesadaran akan bahaya konsumerisme ini tidak hanya penting untuk menyelamatkan lingkungan, tetapi juga untuk menyelamatkan nilai-nilai moral dan spiritual yang kita anut. Ramadan seharusnya menjadi momen perenungan untuk kembali pada kesederhanaan, bukan justru menjadi cermin dari kegagalan kita dalam menahan godaan duniawi.

Kesadaran Ekologis

Persoalan ekologis bukan semata-mata masalah agama, melainkan cerminan minimnya kesadaran sebagian umat beragama terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Ramadan sejatinya mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan pengendalian diri—dua prinsip mendasar yang jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi solusi terhadap krisis ekologis dan sosial yang kian mengkhawatirkan.

Baca Juga : LDK Al-Fath Society Gelar "Ramadan Inspiratif" di Masjid Kampus ITEKES Tri Tunas Nasional

Namun, realitas menunjukkan hal yang sebaliknya. Kesadaran akan pelestarian lingkungan tampaknya masih menjadi isu yang terabaikan di kalangan sebagian masyarakat beragama. Ironisnya, Ramadan, yang seharusnya menjadi momen introspeksi dan pengendalian diri, seringkali justru menjadi ajang peningkatan konsumsi, yang berujung pada permasalahan lingkungan seperti meningkatnya timbunan sampah makanan dan kemasan plastik.

Padahal, esensi puasa sejatinya adalah memperluas kesadaran, memantapkan hubungan dengan Sang Pencipta, memperkuat kepekaan sosial, serta meningkatkan kepedulian terhadap alam semesta. Berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merenungkan keterhubungan kita dengan makhluk lain serta ekosistem yang menopang kehidupan.

Dengan berpuasa, keimanan seseorang tidak hanya semakin bertambah secara spiritual, tetapi juga kian terasah dalam hal kepekaan ekologis. Islam, melalui ajarannya, telah mengingatkan umatnya untuk menjaga keseimbangan alam. Konsep iman yang bermakna keamanan, kedamaian, dan ketenangan, sejatinya mampu menggerakkan penganutnya untuk peduli dan bertindak aktif demi pelestarian ekosistem.

Pada Akhirnya, Ramadan bukan hanya tentang ibadah personal, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial untuk menjaga kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan. Inilah saatnya menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk memperkuat keimanan sekaligus membangun kepedulian nyata terhadap bumi yang kita huni bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

#Ramadan #budaya konsumerisme #krisis ekologis
Youtube Jejakfakta.com